Selamat Datang di Blog Saya - Semoga Artikel yang Saya Postingkan Bermanfaat bagi semua

Sabtu, 06 Juli 2013

Perspektif Lingkungan



Sumber daya alam (air, energi, pertanian, keragaman biologis): Dengan berdasar pada lebih dari 30 tahun pengalaman pendidikan lingkungan, ESD harus terus melanjutkan pentingnya membicarakan persoalan-persoalan ini sebagai bagian dari agenda yang lebih luas dalam pembangunan berkelanjutan. Secara khusus, hubungan dengan pertimbangan kemasyarakatan dan ekonomi akan memungkinkan para pembelajar untuk mengadopsi perilaku baru dalam melindungi sumber daya alam dunia yang penting bagi pembangunan manusia dan untuk bertahan hidup. Kemanusiaan bergantung pada barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem. Jadi, perlindungan dan perbaikan pada ekosistem bumi adalah sebuah tantangan penting.
Perubahan iklim: Pemanasan global adalah masalah “modern”- rumit, melibatkan seluruh dunia, berada dalam keruwetan persoalan berbeda seperti kemiskinan, pembangunan ekonomi, dan pertumbuhan penduduk. ESD harus membawa kesadaran para pembelajar pada kebutuhan penting untuk persetujuan internasional dan target kuantitatif yang mampu dipaksakan untuk membatasi kerusakan pada atmosfir dan mencegah perubahan iklim yang berbahaya. Pada tahun 1992, sebagian besar negara-negara mengikuti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) untuk mulai mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan dan bagaimana mengatasi seberapapun kenaikan suhu yang akan terjadi. Pada tahun 1997, pemerintah-pemerintah menyetujui tambahan pada perjanjian ini, Protokol Kyoto, yang memiliki kekuatan lebih besar, mengikat secara hukum, dan diharapkan dapat berpengaruh secepatnya. ESD adalah suatu kunci penting untuk membangun suatu lobby global untuk sebuah tindakan efektif.
Pembangunan pedesaan: Di luar urbanisasi yang berlangsung begitu cepat, tiga milyar atau 60% dari orang-orang di negara-negara berkembang, atau setengah penduduk dunia, masih tinggal di pedesaan. Tiga perempat dari penduduk miskin dunia, berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari, mayoritas penduduk tersebut adalah wanita, tinggal di pedesaan. Tidak bersekolah, putus sekolah, orang dewasa yang buta huruf dan ketimpangan gender dalam pendidikan secara tidak proporsional berlangsung tinggi di pedesaan, sebagaimana halnya kemiskinan. Perbedaan desa-kota dalam investasi pendidikan dan dalam kualitas pengajaran dan pembelajaran telah tersebarluas dan perlu untuk dibicarakan kembali. Aktivitas kependidikan harus dihubungkan dengan kebutuhan khusus dari komunitas pedesaan yakni keterampilan dan kemampuan untuk memperbesar kesempatan ekonomi, menaikkan pendapatan dan memperbaiki kualitas hidup. Dibutuhkan pendekatan kependidikan multisektoral yang melibatkan berbagai usia dan pendidikan formal, non formal, dan informal yang ada.
Urbanisasi yang berkelanjutan: Pada saat yang sama, kota-kota telah menjadi gerbang terdepan perubahan sosio-ekonomi global, dengan setengah populasi dunia sekarang tinggal di daerah-daerah urban dan setengah yang lainnya semakin bergantung pada kota untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan politik mereka. Faktor-faktor seperti globalisasi dan demokratisasi telah meningkatkan peran penting kota demi tercapainya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, lazim bila kota dianggap tidak hanya berperan mengancam pembangunan berkelanjutan, namun juga menjanjikan peluang bagi kemajuan ekonomi dan sosial, sekaligus peningkatan kualitas lingkungan di tingkatan lokal, nasional, maupun global.
Pencegahan dan mitigasi bencana: pembangunan berkelanjutan akan terhambat bila komunitas sekitarnya mengalami atau terancam oleh bencana. Pengalaman dan kerja di masa lampau telah menunjukkan pengaruh penting dan positif dari pendidikan yang ternyata mampu membantu mengurangi resiko terjadinya bencana. Anak-anak yang tahu bagaimana harus bertindak dalam kondisi gempa bumi, pemuka masyarakat yang siap sedia memberikan peringatan pada warganya saat terjadi kondisi bahaya, dan keseluruhan lapisan masyarakat yang telah diajari bagaimana menyiapkan diri saat terjadi bencana alam, semuanya merupakan strategi yang lebih baik dalam meringankan dampak dari bencana yang terjadi. Pendidikan dan pengetahuan telah membekali masyarakat dengan strategi pengurangan kerawanan dan kemampuan menolong diri sendiri.

PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN : MEMPROMOSIKAN NILAI-NILAI



Bisakah pendidikan dipertimbangkan sebagai bagian integral dari strategi pembangunan berkelanjutan, dan jika demikian, mengapa begitu? Pembangunan berkelanjutan pada intinya berbicara tentang hubungan-hubungan antar orang, dan antara orang dengan lingkungan mereka. Dengan kata lain, ini sebuah persoalan sosio-kultural dan ekonomi. Elemen manusia sekarang secara luas diakui sebagai variabel kunci dalam pembangunan berkelanjutan, baik sebagai penyebab dari pembangunan berkelanjutan dan juga sebagai harapan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Hubungan manusia yang berdasarkan pada kepentingan diri sendiri (ketamakan, kecemburuan atau nafsu untuk berkuasa, misalnya) mempertahankan distribusi kekayaan yang tidak adil, membangkitkan konflik dan berujung pada kurangnya perhatian pada ketersediaan sumberdaya alam untuk masa depan. Sebaliknya, hubungan yang bercirikan keadilan, perdamaian, dan kepentingan bersama yang saling menguntungkan berujung pada keadilan yang lebih besar, penghargaan dan pemahaman. Kualitas-kualitas inilah yang akan mendasari strategi-strategi pembangunan berkelanjutan.
Nilai-nilai mendasar yang akan dipromosikan oleh pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan setidaknya disebutkan berikut ini:
  • Penghargaan atas martabat dan hak asasi manusia untuk semua orang di seluruh dunia dan komitmen pada keadilan sosial dan ekonomi bagi semua;
  • Penghargaan atas hak asasi manusia dari generasi masa depan dan komitmen pada pertanggungjawaban antar generasi;
  • Penghargaan dan kepedulian bagi komunitas kehidupan yang lebih luas dengan semua keragamannya yang melibatkan perlindungan dan pemulihan pada ekosistem Bumi;
  • Penghargaan atas keragaman budaya dan komitmen untuk membangun secara lokal dan global sebuah budaya toleransi, nirkekerasan dan perdamaian.
Pendidikan adalah kesempatan terbaik kita untuk mengenalkan dan mengakarkan nilai dan perilaku yang dikandung pembangunan berkelanjutan. Seperti telah diketahui banyak orang, ‘dibutuhkan sebuah pendidikan yang transformatif: pendidikan yang membantu menuju perubahan-perubahan fundamental yang dituntut oleh tantangan dari keberlanjutan. Mempercepat kemajuan menuju keberlanjutan bergantung pada menghidupkan kembali hubungan yang penuh kepedulian antara manusia dan dunia alam, untuk kemudian mempermudah eksplorasi kreatif bentuk-bentuk pembangunan yang lebih bertanggungjawab secara lingkungan dan sosial.’ Pendidikan memungkinkan kita sebagai individu dan komunitas untuk memahami diri kita sendiri dan orang lain, dan hubungan kita dengan alam dan lingkungan sosial yang lebih luas. Pemahaman ini berlaku sebagai dasar yang kokoh bagi untuk menghormati dunia sekitar kita dan manusia yang menghuninya.
Pencarian atas pembangunan berkelanjutan itu beraneka segi – tidak bisa bergantung pada pendidikan sendirian. Banyak parameter sosial lain yang mempengaruhi pembangunan berkelanjutan, seperti tata kepemerintahan, hubungan gender, bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan partisipasi warga negara. Memang, bisa saja kita memilih untuk mengangkat pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan, karena pembelajaran tidak dibatasi pada pendidikan saja. Pembelajaran termasuk apa yang terjadi dalam sistem pendidikan, tetapi memperluasnya kedalam kehidupan sehari-hari-pembelajaran mengambil tempat di rumah, dalam setting sosial, di lembaga komunitas dan di tempat kerja. Meskipun dinamai sebagai Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, ini harus memasukkan dan mendukung semua bentuk pembelajaran.
Adalah kepuasan melihat orang belajarlah yang menjadi motivasi banyak pendidik. Penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar pendidik bekerja untuk membantu individu-individu untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual, emosional, spiritual, dan secara praktis,untuk kemudian tumbuh subur dalam konteks sosio-lingkungan atau sosio-kultural apapun tempat mereka berada. Banyak pendidik memiliki pandangan bersemangat tentang mengapa dan bagaimana aspek-aspek pendidikan dapat dan harus memainkan peran vital dalam proses ini. Pembangunan nilai-nilai positif yang kuat dalam diri pembelajar – tentang diri mereka sendiri, tentang pembelajaran, dunia di sekeliling mereka dan tempat mereka di dalamnya– adalah bagian kunci dari apa yang berusaha pendidik tumbuh kembangkan dalam seorang pembelajar: berkembang sebagai manusia yang utuh, menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab, menemukan kecintaan pada pembelajaran seumur hidup, menyadari kekuatan dan potensi diri mereka. Pembelajaran personal inilah yang akan paling memungkinkan untuk mempercepat penanaman nilai-nilai yang mendasari pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan adalah persoalan mengadopsi suatu visi secara yakin daripada mencerna sebagian khusus dari ilmu pengetahuan. Pembelajaran dalam ESD bagaimanapun juga tidak bisa berhenti pada tingkatan personal– ini harus mendorong ke arah partisipasi aktif dalam mencari dan mengimplementasikan pola-pola baru perubahan dan pengorganisasian sosial, bekerja untuk menemukan struktur-struktur dan mekanisme-mekanisme yang akan lebih merefleksikan visi pembangunan berkelanjutan.

AREA-AREA KUNCI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN



Sebelum menguraikan peran khusus pendidikan berkenaan dengan pembangunan berkelanjutan, penting untuk memahami apa area-area kunci konsep ini, sebagaimana digambarkan oleh wacana internasional. Terdapat tiga area yang saling terkait dan paling sering dikenali dalam pembangunan berkelanjutan. Yaitu: masyarakat, lingkungan, dan ekonomi, dimana aspek-aspek politis dimasukkan dalam pembahasan masyarakat. Tiga unsur ini, ditegaskan kembali dalam Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg sebagai tiga pilar pembangunan berkelanjutan, memberi bentuk dan isi pada pembelajaran yang berkelanjutan:
1. Masyarakat: pemahaman akan lembaga-lembaga sosial dan peran mereka dalam perubahan dan pembangunan, begitu juga dengan sistem yang demokratis dan partisipatoris yang memberi kesempatan pada kebebasan berpendapat, pemilihan pemerintahan, pembuatan konsensus dan resolusi perbedaan.
2. Lingkungan: kesadaran akan kekayaan dan kerapuhan dari lingkungan fisik dan kerusakan yang terjadi padanya dari aktivitas dan keputusan umat manusia, dengan komitmen untuk memasukkan unsur kepedulian lingkungan dalam pengembangan kebijakan sosial dan ekonomi.
3. Ekonomi: suatu kepekaan atas batas-batas dan kekuatan dari pertumbuhan ekonomi dan pengaruhnya yang kuat pada masyarakat dan lingkungan, dengan komitmen untuk membebani tingkat konsumsi perseorangan dan masyarakat dengan perhatian untuk lingkungan dan untuk keadilan sosial.
Tiga unsur ini memikul sebuah proses perubahan yang terus-menerus dan berjangka panjang - pembangunan berkelanjutan adalah sebuah konsep yang dinamis, dengan pengakuan bahwa umat manusia berada dalam suatu gerakan yang konstan. Pembangunan berkelanjutan bukanlah tentang mempertahankan status quo, tetapi lebih tentang arah dan maksud perubahan. Penekanan pada hubungan antara kemiskinan dengan persoalan pembangunan berkelanjutan merujuk pada perhatian komunitas internasional bahwa mengakhiri kemelaratan dan ketidakberdayaan menjadi perhatian kita untuk masa depan dunia seperti halnya melindungi lingkungan. Menyeimbangkan keduanya adalah tantangan pokok pembangunan berkelanjutan.
Dasar dan fondasi untuk keterkaitan tiga area ini dengan pembangunan berkelanjutan terdapat dalam dimensi Budaya. Kebudayaan – cara hidup, berhubungan, berperilaku, berkeyakinan dan bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, sejarah dan tradisi, yang didalamnya umat manusia menjalani kehidupan mereka. Ini adalah pengakuan bahwa praktek-praktek kebiasaan, identitas dan nilai-nilai – perangkat lunak pengembangan manusia – memainkan peran besar dalam menyusun dan membangun komitmen bersama. Dalam kaitan proses dan tujuan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (ESD), penekanan pada aspek kebudayaan akan menggaris bawahi pentingnya:
1. Menghargai keragaman: ‘permadani berharga’ pengalaman umat manusia dalam banyak konteks fisik dan sosiokultural dunia;
2. Tumbuh dalam penghargaan dan toleransi atas perbedaan: dimana kontak dengan keberbedaan adalah memperkaya, menantang dan menggairahkan;
3. Menghargai nilai-nilai dalam suatu debat terbuka dan dengan suatu komitmen untuk mempertahankan dialog agar tetap berlangsung;
4. Meneladani nilai-nilai penghargaan dan martabat yang mendasari pembangunan berkelanjutan, dalam kehidupan personal dan kelembagaan;
5. Membangun kapasitas manusia dalam semua aspek pembangunan berkelanjutan;
6. Menggunakan pengetahuan indigenous lokal tentang flora dan fauna dan praktek-praktek budidaya pertanian yang berkelanjutan, penggunaan air, dan sebagainya;
7. Mempercepat dukungan pada kebiasaan dan tradisi yang membangun keberlanjutan– termasuk aspek-aspek seperti pencegahan perpindahan besar-besaran orang desa;
8. Menghargai dan bekerja dengan pandangan yang khusus secara budaya atas alam, masyarakat, dan dunia, alih-alih mengabaikan mereka atau menghancurkan mereka, secara sengaja ataupun karena kekurang hati-hatian, atas nama pembangunan;
9. Menggunakan pola-pola komunikasi lokal, termasuk penggunaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal, sebagai penghubung interaksi dan identitas budaya.
Persoalan kebudayaan juga terhubung dengan pembangunan ekonomi melalui pendapatan, dimana perwujudan budaya bisa menghasilkan, melalui seni, musik, dan tarian, sebaik dari pariwisata. Di tempat berkembangnya industri kebudayaan seperti itu, harus ada kesadaran penuh akan bahaya pengkomodifikasian kebudayaan dan merusaknya menjadi sekedar objek ketertarikan orang luar. Kebudayaan harus dihargai sebagai konteks yang hidup dan dinamis yang di dalamnya manusia di manapun berada dapat menemukan nilai dan identitas mereka.
Tiga area ini – masyarakat, lingkungan, dan ekonomi – saling berhubungan melalui dimensi kebudayaan, sebuah karakter pembangunan berkelanjutan yang harus kita jaga dalam pikiran. Tak ada aspek kehidupan yang tak tersentuh oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan, seperti halnya pembangunan yang semakin berkelanjutan dan akan berpengaruh pada setiap bagian kehidupan. Oleh karena Kompleksitas dan keterkaitan ini, ESD harus menyampaikan pesan-pesan kehidupan yang tak kentara namun jelas, menyeluruh namun nyata, multidimensi namun langsung.
Tujuan utamanya adalah mencapai kehidupan bersama yang penuh perdamaian, dengan lebih sedikit penderitaan, lebih sedikit kemiskinan di sebuah dunia tempat orang dapat menjalankan hak-hak mereka sebagai umat manusia dan warga negara dengan cara yang bermartabat. Pada saat yang sama lingkungan alam akan memainkan perannya untuk melakukan regenerasi dengan menghindari hilangnya keanekaragaman dan penumpukan limbah di biosfer dan geosfer. Kekayaan dalam keragaman di semua sektor lingkungan natural, kultural, dan sosial adalah komponen mendasar untuk sebuah ekosistem yang mapan dan untuk keamanan dan kegembiraan setiap komunitas. Hubungan yang saling berkaitan ini menggaris bawahi kompleksitas yang menjadi bagian dari lingkungan alam dan sistem pembelajaran manusia, yang terus-menerus membutuhkan perawatan dengan pendekatan holistik.

STUDI KASUS



Pengelolaan Sampah DKI Akan Gunakan Hi-Tech
Sampah menjadi salah satu masalah serius perkotaan di Kota Jakarta selain banjir dan kemacetan jalan. Pemerintah sendiri mentargetkan pada 2006 nanti masalah sampah sudah dapat diselesaikan secara menyeluruh dan untuk merealisasikan gagasan itu dibutuhkan dana Rp 1,2 triliun.
Dana tersebut diantaranya untuk membuat mesin penghancur sampah dengan menggunakan mesin berteknologi tinggi yang akan dipadukan dengan konsep korporasi. Selama ini, masalah sampah di Jakarta masih ditangani di Bantargebang, Bekasi. Hanya saja, tidak mungkin selamanya sampah akan dibuang di sana karena lama-kelamaan sampah makin penuh sementara tempatnya terbatas.
"Untuk itu ke depannya kita akan mencoba menerapkan teknologi tinggi untuk menangani sampah dan terus memadukannya dengan konsep korporasi," jelas Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Fauzi Bowo, kemarin (18/5).
Penerapan tehnologi tinggi (incenerator) ini bisa saja mengadopsi beberapa negara maju seperti Singapura dalam mengelola sampah. Di Singapura, pembuangan sampah berada di tengah kota namun tidak menimbulkan bau dan residu yang mengganggu lingkungan. Itu karena mereka menggunakan tehnologi tinggi yang mesinnya mampu menghancurkan sampah.
Sementara itu, untuk konsep korporasi saat ini sudah diterapkan. Maksudnya, penanganan sampah tidak bisa diselesaikan oleh satu daerah, namun harus melibatkan semua daerah. Konsep ini juga sejalan dengan rencana pemerintah pusat yang akan membentuk korporasi antardaerah di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum, Joko Kirmanto telah membuat program penanganan sampah melalui program WJEMP (West Java Enviromental Project) dengan ruang lingkup Jawa Barat dan Jabodetabek.
Selama ini, Pemrov DKI Jakarta telah menerapkan konsep korpoasi antardaerah dengan melibatkan Pemkot Bekasi. Teknisnya, kedua daerah sepakat menunjuk sebuah perusahaan yang bertugas melakukan pengelolaan sampah di Bekasi. Dan disepakati, Jakarta mengeluarkan biaya sebesar Rp 53 ribu per ton sampah yang dibawa ke Bantargebang.
Jakarta selama ini menghasilkan sampah 6 ribu ton setiap harinya. Sebagia besar sampah diproduksi dari kalangan rumah tangga, pasar, perkantoran dan industri. Jika tidak ada pengelolaan sampah yang benar, maka akan menghasilkan gunung sampah yang tinggi, menjadi sumber bibit penyakit dan membuat lingkungan yang kumuh.
Untuk segera merealisasikan proyek tersebut, kemarin Gubernur Sutiyoso dengan jajarannya juga langsung menggelar rapat untuk membahas hal itu. Rapat di ruang gubernur itu melibatkan Asisten Pembangunan Heri Sanjoyo, Kabiro Administrasi Sarana dan Prasarana M. Tauhid, serta staf dari Dubes RI di Singapura. Inti dari pertemuan itu pemaparan saja dan untuk tindaklanjutnya akan dibahas dikemudian hari.
"Itu beberapa konsep penanganan sampah kami di Jakarta yang mudah-mudahan bisa kita terapkan mulai tahun 2006," harapnya.

INDONESIA SUDAH PUNYA UU PENGELOLAAN SAMPAH



Setelah melewati rangkaian pembahasan mengenai bagian batang tubuh dan penjelasan, Rabu 09 April 2008, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sampah disetujui oleh Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Penyusunan RUU ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan kehidupan yang baik dan sehat kepada masyarakat Indonesia sebagairnana diamanatkan oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Selain daripada itu, penyusunan RUU ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta perwujudan upaya pemerintah dalam menyediakan landasan hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Selama ini sebagian besar masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end of pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah (TPA). Hal ini berpotensi besar melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi, misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu ke hilir, dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali dan pendauran ulang. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan,' pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar mengatakan "RUU Pengelolaan Sampah ini merupakan revolusi pengelolaan Sampah, diharapkan tidak lama lagi  masyarakat akan mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Selain itu dalam lingkup yang lebih luas RUU ini merupakan komitmen nyata Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim".
Beberapa materi muatan yang diatur dalam RUU tentang Pengelolaan Sampah antara lain yaitu: (i) Lingkup pengelolaan, yaitu: sampah rumah tangga, sejenis sampah rumah tangga, dan spesifik (ii) Hak setiap orang dalam pengelolaan sampah antara lain hak untuk berpartisipasi, memperoleh informasi dan mendapatkan kompensasi dari dampak negatif kegiatan tempat pemrosesan akhir (iii) Kewajiban produsen untuk mencantumkan label mengenai pengurangan dan penanganan sampah serta mengelola kemasan dari barang yang diproduksinya (extended producer responsibility) (iv) Kewajiban pemerintah daerah antara lain kewajiban untuk menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan open dumping paling lama 5 (lima) tahun (vi) Tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, tempat pemrosesan akhir harus dicantumkan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (vii) Penegasan larangan memasukkan dan/atau mengimpor sampah (viii) Pejabat Pegawai Negeri Sipil di bidang pengelolaan sampah diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pengelolaan sampah.
Leobardus Ari Nugroho