PENGEMBANGAN HUTAN DESA SEBAGAI ALTERNATIF
MODEL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
Latar belakang
Pengelolaan sumber daya hutan di
Indonesia yang sentralstik selama ini tidak menjawab berbagai persoalan yang
dihadapi oleh ‘masyarakat. Sistem pengelolaan hutan selama ini mengedepankan
security approach membuat masyarakat semakin terpinggirkan. Namun demikian,
akibat tekanan ekonomi yang semakin berat, kemiskinan lahan, dan tidak
terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan hutan membuat keinginan untuk masuk
atau bahkan mengokupasi hutan serasa menjadi hal yang terelakkan. Apalagi
selama krisis ekonomi berlangsung.
Berlakunya UU No 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah telah memberikan angin segar bagi pemerintah
kabupaten untuk mengurusi pemerintahan daerahnya sendiri termasuk pengelolaan
sumber daya hutan.
Inisiatif pengelolaan sumber daya
hutan yang terdesentralisasi dan berbasis masyarakat untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta sebenarnya sudah dimulai oleh dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gunung
Kidul dengan skema Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa di Kabupaten Kulon
Progo. Inisiasi program pengelolaan hutan kolaboratif dengan model Hutan Desa
di Kulon Progo telah berjalan sejak tahun 2001 hingga saat ini dengan dukungan
The Ford Foundation.
Gambaran umum kawasan hutan di Kulon Progo
Kabupaten Kulon Progo memiliki
Luas area adalah 58.627,5 Ha yang dibagi menjadi 12 kecamatan dan 88 desa.
Kabupaten ini terletak pada 7o38’42’’ LS, 7o59’3’’ LS, 110o1’37’’ BT,
110o16’26’’ BT. Batas-batas wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Magelang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bantul &
Kabupaten Sleman, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia,
sedangkan wilayah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo.
Di kabupaten ini, sumber daya
hutan berasal dari hutan negara dan hutan rakyat. Luas Kawasan hutan negara
yang terletak dalam Bagian Daerah Hutan Kulon Progo seluas 1.037,4 Ha (data
lainnya menyebutkan 1045 Ha), terdiri dari 19 petak RPH Kokap seluas 601,5 Ha
dan 11 petak RPH Sermo seluas 435,9 Ha yang secara administratif terletak di
Kecamatan Kokap (Desa Kalirejo, Desa Hargomulyo, Desa Hargowilis, Desa
Hargorejo) dan Kecamatan Pengasih (Desa Sendangsari dan Desa Karangsari).
Kondisi hutan negara ini sebagian besar dalam keadaan kritis. Banyak tanaman
yang ditemui dalam keadaan yang jelek (tertekan, tidak tumbuh dengan baik), dan
dibeberapa tempat juga dijumpai tanah kosong. Selain itu terdapat juga tanaman
yang sudah tidak produktif lagi. Misalnya terdapat blok tanaman kayu putih yang
sudah lama tidak dipanen, memperlihatkan betapa tidak terarahnya pembangunan
hutan disana. Kritisnya keadaan hutan ini selain disebabkan kurangnya perhatian
dari pemerintah juga disebabkan oleh okupasi lahan (bibrikan) oleh masyarakat,
perencekan (untuk kayu bakar), pakan ternak, bahkan ada beberapa indikasi yang
mengarah pada illegal logging. Hal itu menunjukkan masih besarnya
ketergantungan masyarakat pada sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-harinya.
Luas kawasan hutan tersebut
relatif kecil dibanding luas wilayah, yaitu 1,7 % luas area Kabupaten Kulon
Progo. Sedangkan luasan hutan rakyat dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat
pada lahan-lahan milik rakyat sampai dengan awal Tahun 2000 mencapai 5784 Ha
dan pada Tahun 2000 juga terjadi pengurangan/penebangan seluas 520 Ha sehingga
luasan hutan rakyat sebesar 5.264 Ha. Pada tahun 2000 terdapat penambahan
luasan hutan rakyat sebesar 7593 Ha yang berasal dari penghijauan 1.602 Ha dan
penambahan hutan rakyat swadaya sebesar : 5991 Ha. Dengan demikian pada akhir
tahun 2000 jumlah hutan rakyat adalah : 13.902,4 Ha.
Jumlah penduduk Kabupaten KP tahun 2000 adalah 440.708 jiwa dengan kepadatan 752 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (sekitar hutan) yang relatif rendah, lahan yang marginal dan terbatas pada dasarnya akan menjadi beban dalam pembangunan. Selain itu, kondisi masyarakat di sekitar hutan umumnya terkait dengan resources endownment (sumber daya yang dikuasi), yaitu umumnya masyarakat (petani) mempunyai lahan yang terbatas (marginal), modal terbatas, pendidikan yang relatif rendah, daya absorbsi teknologi relatif rendah, kemampuan memanfaatkan pasar terbatas, orientasi jangka pendek dan kemitraan lemah.
Jumlah penduduk Kabupaten KP tahun 2000 adalah 440.708 jiwa dengan kepadatan 752 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (sekitar hutan) yang relatif rendah, lahan yang marginal dan terbatas pada dasarnya akan menjadi beban dalam pembangunan. Selain itu, kondisi masyarakat di sekitar hutan umumnya terkait dengan resources endownment (sumber daya yang dikuasi), yaitu umumnya masyarakat (petani) mempunyai lahan yang terbatas (marginal), modal terbatas, pendidikan yang relatif rendah, daya absorbsi teknologi relatif rendah, kemampuan memanfaatkan pasar terbatas, orientasi jangka pendek dan kemitraan lemah.
Disamping beberapa problem
pembangunan kabupaten KP diatas, yang penting dicatat adalah Kabupaten ini
mempunyai cukup banyak potensi sumberdaya alam. Sumberdaya hutan negara yang kecil,
memang kurang strategis diambil manfaat langsung dari hasilnya, tetapi justru
manfaat tidak langsung adalah konservasi tanah & air, udara bersih, iklim
lokal mendukung, mencegah bencana alam, dll- meskipun belum dihitung secara
matematis tetapi asumsi jauh lebih berharga daripada hasil langsung – kayu dan
non-kayu- dari hasil hutan. Sumberdaya alam lainnya misalnya pesisir dan
pantai, dimana Kabupaten ini mempunyai garis pantai yang panjang (sekitar 30
Km), yang relatif belum optimal dimanfaatkan. Di Kulon Progo juga terdapat
satu-satunya Bendungan –waduk Sermo- di Provinsi DIY, yang terletak di desa
Hargowilis- desa ini juga menjadi desa dampingan Damar- sebagai sumber irigasi
bagi daerah Clereng, Pengasih dan Pekik Jamal, keperluan pengendalian banjir-mengurangi
banjir di Sungai Serang-, untuk perikanan, pariwisatas, serta sebagai sumber
air minum yang dikelola perusahaan PDAM.
Deskripsi singkat program
Kawasan hutan negara di Kulon
Progo memiliki status hutan produksi dan sebagian hutan lindung. Kondisi hutan
negara tersebut berada dalam keadaan rusak. Beberapa petak yang berbatasan
dengan tiga desa dampingan (Hargowilis, Sendangsari dan Hargorejo) sebagian
besar berada dalam kondisi memprihatinkan. Bibrikan (okupasi lahan) oleh
masyarakat sebagai akibat dari adanya proses pemiskinan karena adanya struktur
pemilikan lahan yang timpang. Sementara itu, akses mereka terhadap sumberdaya
hutan di kawasan hutan negara tertutup.
Hutan Desa sebagai alternatif
model pengelolaan hutan kolaboratif yang berbasis masyarakat adalah sebuah
tawaran solusi untuk menjawab persoalan kerusakan hutan tersebut. Hutan Desa
adalah kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola
serta digunakan untuk kesejateraan masyarakat desa.
Pada daerah tertentu di jawa
tengah dan jawa timur, pada masa sebelum kemerdekaan ada istilah di tengah
masyarakat tentang “wewengkon” yang merujuk pada kewenangan desa untuk
mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya hutan untuk kepentingan
warga desa. Seiring dengan cengkeraman pemerintah yang semakin kuat dalam
penguasaan hutan, konsep wewengkon hutan ini tidak berfungsi lagi yang membuat
apatisme masyarakat desa terhadap sumberdaya hutan.
Hutan desa merupakan tradisi
pengelolaan hutan yang sudah ada sejak lama. Dlaam tradisi desa-desa di jawa
selalu dikenal adanya tanah desa. Tanah kasa desa bisa berwujud macam-macam.
Salah satunya berbentuk hutan. Tanah kas desa yang dalam istilah lokal di
Kabupaten Kulon Progo disebut Sorowiti berfungsi selain sebagai sumber kesejahteraan
masyarakat desa tersebut, terkadang juga berfungsi sebagai sarana konservasi
lingkungan. Tradisi itu secara perlahan-lahan punah. Tidak banyak lagi tanah
kas desa yang masih berfungsi. Hutan desa pada dasarnya adalah menumukan
kembali kearifan-kearifan lokal yang hilang.
Hutan Desa diimplementasikan
dengan pendekatan model pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan berbagai
stakeholders yang memiliki kepentingan pada hutan desa baik pemerintah,
masyarakat, perguruan tinggi maupun LSM. Para stakeholders tersebut
mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menegaskan peran, tanggungjawab dan
hak-haknya dalam pengelolaan suatu kawasan sumberdaya hutan.
Kesekapatan-kesepatakan itu didesain berdasarkan persoalan lokal, yang berbeda
di setiap wilayah tanpa aturan-aturan kaku.
Pada era otonomi daerah, konsepsi
hutan desa dengan pendekatan kolaboratif managemen ini menjadi sangat relevan.
Otonomi desa menjadi bagian yang penting pada proses desentralisai pemerintah.
Proses demokratisasi di tingkat desa sebagai representasi negara dan struktur
pemerintahyang paling dekat dengan rakyat menjadi agenda yang cukup krusial
untuk menggali kembali, mengidentifikasi stakeholders dan membangun kesepahaman
bersama pengelolaan hutan di tingkat desa adalah hal yang mutlak harus
dilakukan apabila kita ingin persoalan hutan bukan lagi murni milik kelompok
tani hutan sebagai tetapi menjadi persoalan bersama. Dengan kosepsi forest user
groups hutan desa, semangat otonomi daerah dengan memandirikan desa melalui
pengoptimalan sumberdaya alam sebagai pendapatan asli desa menjadi kenyataan.
Kemandirian ekonomi lokal juga
merupakan bagian penting dalam pengembangan hutand desa. Untuk itu yang perlu
diupayakan kemudian adalah pengembangan sistem kelembagaannya sekaligus
tenurial syestemnya, sehingga Hutan desa tersebut mampu berkembang menjadi
Pengusahaan hutan skala rakyat ( forest based small scale enterprises). Dengan
kedua instrumen itu, maka secara nyata ada jaminan yang jelas terhadap hak
masyarakat atas sumberdaya hutan. Pada sisi yang lain, ada jaminan yang jelas
terhadap fungsi hutan yang tidak berubah dan status lahan yang tidak berpindah.
Sementara untuk pengambil kebijakan, diperlukan kearifan dalam melihat dan
menilai secara obyektif fenomena yang terjadi di lokasi tersebuta, sehingga
dapat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat ikut mengelola hutan
dalam jangka waktu yang panjang.
Deskripsi
kegiatan
Secara
umum kegiatan Hutan Desa terbagi atas 4 jenis kegiatan besar yaitu :
1. Pendampingan, adalah kegiatan pemberdayaan
masyarakat dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki mereka tanpa
menghilangkan kearifan lokal yang telah mereka miliki. Kegiatan pendampingan
ini dilakukan pada 3 desa yaitu Hargorejo, Hargowilis dan Sendangsari melalui
pelatihan-pelatihan, studi banding, workshop dan bentuk pembedayaan masyarakat
lainnya. Harapannya dengan pendampingan ini maka masyarakat dapat meningkat
pengetahuannya, sehingga mendorong peningkatan kesejahteraan hidupnya.
2. Advokasi kebijakan dilakukan untuk memperoleh
kepastian hukum bagi masyarakat dalam mengelola hutan berupa ijin pengelolaan
baik di tingkat daerah berupa SK bupati, PERDA (peraturan Daerah) ataupun di
tingkat desa berupa Perdes (peraturan Desa).
3. Penelitian dilakukan untuk mendorong proses
pengelolaan hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dilakukan secara
partisipatif. Riset tersebut diantaranya adalah PRA, riset kelembagaan, Relasi
gender dalam pengelolaan hutan, Riset Konservasi tanah air, Riset pemasaran
pasca panen dan riset lainnya yangrelevan.
4. Pengembangan Pusat Informasi. Kegiatan ini
dilakukan sebagai media informasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan
sekaligus membangun kesadaran akan artinya pengelolaan hutan yang
berkelanjutan. Adapun bentuk kegiatan tersebut berupa penerbitan Bulletin
lokal, komik petani, pembuatan Film dokumenter, serta bentuk kampanye lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar