Selamat Datang di Blog Saya - Semoga Artikel yang Saya Postingkan Bermanfaat bagi semua

Selasa, 02 April 2013

Study Kasus

PENGEMBANGAN HUTAN DESA SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
 Latar belakang
Pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia yang sentralstik selama ini tidak menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh ‘masyarakat. Sistem pengelolaan hutan selama ini mengedepankan security approach membuat masyarakat semakin terpinggirkan. Namun demikian, akibat tekanan ekonomi yang semakin berat, kemiskinan lahan, dan tidak terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan hutan membuat keinginan untuk masuk atau bahkan mengokupasi hutan serasa menjadi hal yang terelakkan. Apalagi selama krisis ekonomi berlangsung.
Berlakunya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah memberikan angin segar bagi pemerintah kabupaten untuk mengurusi pemerintahan daerahnya sendiri termasuk pengelolaan sumber daya hutan.
Inisiatif pengelolaan sumber daya hutan yang terdesentralisasi dan berbasis masyarakat untuk Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya sudah dimulai oleh dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gunung Kidul dengan skema Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa di Kabupaten Kulon Progo. Inisiasi program pengelolaan hutan kolaboratif dengan model Hutan Desa di Kulon Progo telah berjalan sejak tahun 2001 hingga saat ini dengan dukungan The Ford Foundation.
Gambaran umum kawasan hutan di Kulon Progo
Kabupaten Kulon Progo memiliki Luas area adalah 58.627,5 Ha yang dibagi menjadi 12 kecamatan dan 88 desa. Kabupaten ini terletak pada 7o38’42’’ LS, 7o59’3’’ LS, 110o1’37’’ BT, 110o16’26’’ BT. Batas-batas wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bantul & Kabupaten Sleman, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sedangkan wilayah barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo.
Di kabupaten ini, sumber daya hutan berasal dari hutan negara dan hutan rakyat. Luas Kawasan hutan negara yang terletak dalam Bagian Daerah Hutan Kulon Progo seluas 1.037,4 Ha (data lainnya menyebutkan 1045 Ha), terdiri dari 19 petak RPH Kokap seluas 601,5 Ha dan 11 petak RPH Sermo seluas 435,9 Ha yang secara administratif terletak di Kecamatan Kokap (Desa Kalirejo, Desa Hargomulyo, Desa Hargowilis, Desa Hargorejo) dan Kecamatan Pengasih (Desa Sendangsari dan Desa Karangsari). Kondisi hutan negara ini sebagian besar dalam keadaan kritis. Banyak tanaman yang ditemui dalam keadaan yang jelek (tertekan, tidak tumbuh dengan baik), dan dibeberapa tempat juga dijumpai tanah kosong. Selain itu terdapat juga tanaman yang sudah tidak produktif lagi. Misalnya terdapat blok tanaman kayu putih yang sudah lama tidak dipanen, memperlihatkan betapa tidak terarahnya pembangunan hutan disana. Kritisnya keadaan hutan ini selain disebabkan kurangnya perhatian dari pemerintah juga disebabkan oleh okupasi lahan (bibrikan) oleh masyarakat, perencekan (untuk kayu bakar), pakan ternak, bahkan ada beberapa indikasi yang mengarah pada illegal logging. Hal itu menunjukkan masih besarnya ketergantungan masyarakat pada sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya.
Luas kawasan hutan tersebut relatif kecil dibanding luas wilayah, yaitu 1,7 % luas area Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan luasan hutan rakyat dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat pada lahan-lahan milik rakyat sampai dengan awal Tahun 2000 mencapai 5784 Ha dan pada Tahun 2000 juga terjadi pengurangan/penebangan seluas 520 Ha sehingga luasan hutan rakyat sebesar 5.264 Ha. Pada tahun 2000 terdapat penambahan luasan hutan rakyat sebesar 7593 Ha yang berasal dari penghijauan 1.602 Ha dan penambahan hutan rakyat swadaya sebesar : 5991 Ha. Dengan demikian pada akhir tahun 2000 jumlah hutan rakyat adalah : 13.902,4 Ha.

Jumlah penduduk Kabupaten KP tahun 2000 adalah 440.708 jiwa dengan kepadatan 752 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (sekitar hutan) yang relatif rendah, lahan yang marginal dan terbatas pada dasarnya akan menjadi beban dalam pembangunan. Selain itu, kondisi masyarakat di sekitar hutan umumnya terkait dengan resources endownment (sumber daya yang dikuasi), yaitu umumnya masyarakat (petani) mempunyai lahan yang terbatas (marginal), modal terbatas, pendidikan yang relatif rendah, daya absorbsi teknologi relatif rendah, kemampuan memanfaatkan pasar terbatas, orientasi jangka pendek dan kemitraan lemah.
Disamping beberapa problem pembangunan kabupaten KP diatas, yang penting dicatat adalah Kabupaten ini mempunyai cukup banyak potensi sumberdaya alam. Sumberdaya hutan negara yang kecil, memang kurang strategis diambil manfaat langsung dari hasilnya, tetapi justru manfaat tidak langsung adalah konservasi tanah & air, udara bersih, iklim lokal mendukung, mencegah bencana alam, dll- meskipun belum dihitung secara matematis tetapi asumsi jauh lebih berharga daripada hasil langsung – kayu dan non-kayu- dari hasil hutan. Sumberdaya alam lainnya misalnya pesisir dan pantai, dimana Kabupaten ini mempunyai garis pantai yang panjang (sekitar 30 Km), yang relatif belum optimal dimanfaatkan. Di Kulon Progo juga terdapat satu-satunya Bendungan –waduk Sermo- di Provinsi DIY, yang terletak di desa Hargowilis- desa ini juga menjadi desa dampingan Damar- sebagai sumber irigasi bagi daerah Clereng, Pengasih dan Pekik Jamal, keperluan pengendalian banjir-mengurangi banjir di Sungai Serang-, untuk perikanan, pariwisatas, serta sebagai sumber air minum yang dikelola perusahaan PDAM.

Deskripsi singkat program
Kawasan hutan negara di Kulon Progo memiliki status hutan produksi dan sebagian hutan lindung. Kondisi hutan negara tersebut berada dalam keadaan rusak. Beberapa petak yang berbatasan dengan tiga desa dampingan (Hargowilis, Sendangsari dan Hargorejo) sebagian besar berada dalam kondisi memprihatinkan. Bibrikan (okupasi lahan) oleh masyarakat sebagai akibat dari adanya proses pemiskinan karena adanya struktur pemilikan lahan yang timpang. Sementara itu, akses mereka terhadap sumberdaya hutan di kawasan hutan negara tertutup.
Hutan Desa sebagai alternatif model pengelolaan hutan kolaboratif yang berbasis masyarakat adalah sebuah tawaran solusi untuk menjawab persoalan kerusakan hutan tersebut. Hutan Desa adalah kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola serta digunakan untuk kesejateraan masyarakat desa.
Pada daerah tertentu di jawa tengah dan jawa timur, pada masa sebelum kemerdekaan ada istilah di tengah masyarakat tentang “wewengkon” yang merujuk pada kewenangan desa untuk mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya hutan untuk kepentingan warga desa. Seiring dengan cengkeraman pemerintah yang semakin kuat dalam penguasaan hutan, konsep wewengkon hutan ini tidak berfungsi lagi yang membuat apatisme masyarakat desa terhadap sumberdaya hutan.
Hutan desa merupakan tradisi pengelolaan hutan yang sudah ada sejak lama. Dlaam tradisi desa-desa di jawa selalu dikenal adanya tanah desa. Tanah kasa desa bisa berwujud macam-macam. Salah satunya berbentuk hutan. Tanah kas desa yang dalam istilah lokal di Kabupaten Kulon Progo disebut Sorowiti berfungsi selain sebagai sumber kesejahteraan masyarakat desa tersebut, terkadang juga berfungsi sebagai sarana konservasi lingkungan. Tradisi itu secara perlahan-lahan punah. Tidak banyak lagi tanah kas desa yang masih berfungsi. Hutan desa pada dasarnya adalah menumukan kembali kearifan-kearifan lokal yang hilang.
Hutan Desa diimplementasikan dengan pendekatan model pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan berbagai stakeholders yang memiliki kepentingan pada hutan desa baik pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi maupun LSM. Para stakeholders tersebut mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menegaskan peran, tanggungjawab dan hak-haknya dalam pengelolaan suatu kawasan sumberdaya hutan. Kesekapatan-kesepatakan itu didesain berdasarkan persoalan lokal, yang berbeda di setiap wilayah tanpa aturan-aturan kaku.
Pada era otonomi daerah, konsepsi hutan desa dengan pendekatan kolaboratif managemen ini menjadi sangat relevan. Otonomi desa menjadi bagian yang penting pada proses desentralisai pemerintah. Proses demokratisasi di tingkat desa sebagai representasi negara dan struktur pemerintahyang paling dekat dengan rakyat menjadi agenda yang cukup krusial untuk menggali kembali, mengidentifikasi stakeholders dan membangun kesepahaman bersama pengelolaan hutan di tingkat desa adalah hal yang mutlak harus dilakukan apabila kita ingin persoalan hutan bukan lagi murni milik kelompok tani hutan sebagai tetapi menjadi persoalan bersama. Dengan kosepsi forest user groups hutan desa, semangat otonomi daerah dengan memandirikan desa melalui pengoptimalan sumberdaya alam sebagai pendapatan asli desa menjadi kenyataan.

Kemandirian ekonomi lokal juga merupakan bagian penting dalam pengembangan hutand desa. Untuk itu yang perlu diupayakan kemudian adalah pengembangan sistem kelembagaannya sekaligus tenurial syestemnya, sehingga Hutan desa tersebut mampu berkembang menjadi Pengusahaan hutan skala rakyat ( forest based small scale enterprises). Dengan kedua instrumen itu, maka secara nyata ada jaminan yang jelas terhadap hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Pada sisi yang lain, ada jaminan yang jelas terhadap fungsi hutan yang tidak berubah dan status lahan yang tidak berpindah. Sementara untuk pengambil kebijakan, diperlukan kearifan dalam melihat dan menilai secara obyektif fenomena yang terjadi di lokasi tersebuta, sehingga dapat memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat ikut mengelola hutan dalam jangka waktu yang panjang.
Deskripsi kegiatan
Secara umum kegiatan Hutan Desa terbagi atas 4 jenis kegiatan besar yaitu :
1.  Pendampingan, adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki mereka tanpa menghilangkan kearifan lokal yang telah mereka miliki. Kegiatan pendampingan ini dilakukan pada 3 desa yaitu Hargorejo, Hargowilis dan Sendangsari melalui pelatihan-pelatihan, studi banding, workshop dan bentuk pembedayaan masyarakat lainnya. Harapannya dengan pendampingan ini maka masyarakat dapat meningkat pengetahuannya, sehingga mendorong peningkatan kesejahteraan hidupnya.
2.  Advokasi kebijakan dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum bagi masyarakat dalam mengelola hutan berupa ijin pengelolaan baik di tingkat daerah berupa SK bupati, PERDA (peraturan Daerah) ataupun di tingkat desa berupa Perdes (peraturan Desa).
3.  Penelitian dilakukan untuk mendorong proses pengelolaan hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dilakukan secara partisipatif. Riset tersebut diantaranya adalah PRA, riset kelembagaan, Relasi gender dalam pengelolaan hutan, Riset Konservasi tanah air, Riset pemasaran pasca panen dan riset lainnya yangrelevan.
4.  Pengembangan Pusat Informasi. Kegiatan ini dilakukan sebagai media informasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan sekaligus membangun kesadaran akan artinya pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Adapun bentuk kegiatan tersebut berupa penerbitan Bulletin lokal, komik petani, pembuatan Film dokumenter, serta bentuk kampanye lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leobardus Ari Nugroho