Revolusi Hijau adalah suatu
istilah untuk menggambarkan sebuah transformasi agrikultural yang membawa
peningkatan produksi secara signifikan di banyak negara berkembang sekitar tahun
1940-1960. Transformasi itu didasarkan hasil penelitian dan pengembangan
infrastruktur yang dilakukan oleh The Rockefeller Foundation, Ford Foundation,
dan sejumlah lembaga lainnya. Istilah Revolusi Hijau itu sendiri baru digunakan
pertama kali tahun 1968 oleh mantan Direktur USAID, William Gaud. Ia
menyatakan, ” Pertumbuhan yang cepat dari bibit gandum dan beras terbaru di
seluruh Asia dan perkembangan lainnya di bidang agrikultur mengandung makna
sebuah revolusi baru. Revolusi Hijau
didasarkan pada aplikasi teknologi ilmiah yang digunakan
Awalnya Revolusi hijau ini
dilakukan di Mexico pada tahun 1943 dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan industri. Pemerintah Mexico melakukan pengembangan infrastruktur di
daerah pedesaan dan mengadopsi varietas bibit unggul. Usaha ini membuahkan
hasil, yakni pada tahun 1951 Mexico telah dapat berswasembada gandum dan bahkan
mengekspornya kemudian. Keberhasilan Mexico ini mendorong The Rockefeller
Foundation membawa Revolusi Hijau ini ke India, kemudian ke Indonesia,
Pakistan, Sri Lanka, Filipina, Amerika Latin, dan Negara-negara lain di Asia
dan Afrika.
Dampak Revolusi Hijau terhadap
ketahanan pangan global sebenarnya sulit dipahami karena sistem makanan
sesungguhnya amat kompleks. Di satu sisi Revolusi Hijau dianggap berjasa karena
mampu meningkatkan produksi pangan dan mencegah terjadinya bahaya kelaparan.
Agrikultural dengan Revolusi Hijau telah mampu memberi makan bermilyar orang di
seluruh dunia. Tanpa Revolusi Hijau, ada kemungkinan jumlah orang yang mengalami
kelaparan dan malnutrisi lebih besar dari yang telah dihitung oleh FAO saat
ini. Saat ini rata-rata orang mengkonsumsi 25% lebih banyak kalori dibandingkan
sebelum Revolusi Hijau (Wikipedia).
Konsep ketahanan pangan sejatinya mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Konsep yang multidimensi ini meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Kerawanan pangan tidak semata-mata karena kekurangan pangan tapi juga berupa kebijakan pemerintah dalam pertanian dan pembangunan secara keseluruhan, mekanisme distribusi, ketiadaan akses terhadap pangan dan ketiadaan kemampuan daya beli masyarakat.
Aspek ketersediaan pangan bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan
manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung disertai sumber
daya manusia yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinyu.
Apalagi beban petani kian bertambah berat. Menurut Prof. Jules Pretty seorang pakar pertanian berkelanjutan dari Universitas Essex, Inggris, dewasa ini dan ke depan petani tidak saja harus meningkatkan produksi pertaniannya untuk mencegah kelangkaan pangan di desanya, tapi juga harus melonjaknya kebutuhan pangan orang-orang kota. Jules mencatat, selama periode hingga 2020, jumlah masyarakat kota akan bertambah menjadi 3,4 miliar orang, sementara penduduk desa hanya bertambah dari 300 juta orang menjadi 3 miliar orang. Kedaulatan rakyat untuk pangan menjadi titik sentral untuk menuju ketahanan pangan rakyat. Pada 1983, Indonesia berhasil meraih swasembada pangan dalam hal ini beras. Namun prestasi ini hanya berlangsung sebentar saja. Kurang dari lima tahun berikutnya, Indonesia kembali mengimpor beras guna mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya hingga sekarang. Peningkatan produktifitas pertanian menjadi acuan kebijakan pertanian Indonesia selama ini. Caranya dengan menggunakan asupan eksternal seperti pupuk dan pestisida, penggunaan varietas unggul, mekanisasi pertanian dan irigasi.
Apalagi beban petani kian bertambah berat. Menurut Prof. Jules Pretty seorang pakar pertanian berkelanjutan dari Universitas Essex, Inggris, dewasa ini dan ke depan petani tidak saja harus meningkatkan produksi pertaniannya untuk mencegah kelangkaan pangan di desanya, tapi juga harus melonjaknya kebutuhan pangan orang-orang kota. Jules mencatat, selama periode hingga 2020, jumlah masyarakat kota akan bertambah menjadi 3,4 miliar orang, sementara penduduk desa hanya bertambah dari 300 juta orang menjadi 3 miliar orang. Kedaulatan rakyat untuk pangan menjadi titik sentral untuk menuju ketahanan pangan rakyat. Pada 1983, Indonesia berhasil meraih swasembada pangan dalam hal ini beras. Namun prestasi ini hanya berlangsung sebentar saja. Kurang dari lima tahun berikutnya, Indonesia kembali mengimpor beras guna mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya hingga sekarang. Peningkatan produktifitas pertanian menjadi acuan kebijakan pertanian Indonesia selama ini. Caranya dengan menggunakan asupan eksternal seperti pupuk dan pestisida, penggunaan varietas unggul, mekanisasi pertanian dan irigasi.
Awalnya praktek
revolusi hijau ini menunjukkan hasil yang menakjubkan. Tetapi lambat laun kian
menurun. Alam mempunyai batas maksimal untuk berproduksi. Jika batas tersebut
terlampaui, produktifitas lahan akan menurun sebagai akibat dari penggunaan
asupan eksternal sintetis yang berlebihan. Selain mengganggu kesehatan dan
menyebabkan kerusakan lingkungan, penggunaan asupan eksternal tersebut secara
tidak langsung merebut kedaulatan petani dalam berproduksi, menciptakan
ketergantungan petani terhadap asupan luar. Untuk berproduksi, petani
menggunakan pupuk dan pestisida sintetis yang faktanya diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan besar. Petani harus menukarkan hasil produksinya hanya
untuk mendapatkan asupan tersebut. Semakin lama penggunaan pupuk dan pestisida
menyebabkan ketergantungan lahan atau tanaman terhadap asupan tersebut.
Mesin-mesin dan bahan bakar merupakan input yang datang bukan hanya dari luar
daerah usaha tani, namun seringkali datang dari luar negeri. Ini berarti bahwa
input itu harus diimpor dan dibayar dengan hasil pertanian.
Kondisi tersebut menyebabkan, khususnya di negara-negara berkembang,
kedaulatan petani atas produksi dan kehidupannya menjadi terpinggirkan. Artinya
di sepanjang rantai produksi, petanilah mendapatkan yang nilai tambah paling
kecil. Seperti kata pepatah lama, mereka tak lebih sekadar menjadi "kuda
pelajang bukit"--tenaganya dikuras dan tak dihargai sama sekali. Meskipun
begitu, untunglah para petani masih setia dengan lahannya dan tidak sampai
mengundurkan diri alias meninggalkan pertanian mereka. Sebab kalau itu terjadi,
kelaparan global akan menggeliat di depan mata. Dan itu jelas sebuah tragedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar