Mungkinkah terjadi kembali Bandung lautan sampah jilid
kedua? Pernyataan Wali Kota dalam rangka penyelesaian permasalahan sampah di
Kota Bandung dengan cara referendum sepertinya hanya merupakan bentuk kekesalan
atau emosi sang Wali Kota yang tidak akan menyelesaikan masalah. Penulis
mencoba melihat permasalahan sampah kota, yang sebenarnya dapat diselesaikan
masyarakat sendiri dengan solusi yang menarik. Konsep yang ditawarkan, yaitu
oleh, dari, dan untuk masyarakat, dapat digunakan sebagai dasar pijakan
perilaku masyarakat terhadap sampah. Sebagaimana diketahui, selama ini sampah
yang diproduksi masyarakat telah dibiayai oleh masyarakat bersama pemerintah.
Pengelolaannya dilakukan di dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga. Di
dalam rumah tangga, pengelolaan sampah ini dilakukan oleh ibu rumah tangga dan
operasionalisasinya diserahkan kepada para pembantu rumah tangga.
Di luar rumah tangga pengelolaannya dilakukan oleh para pengurus RT/RW. Di tingkat berikutnya pengelolaan ini diberikan kepada lembaga pemerintah. Di Kota Bandung ini dilakukan oleh PD Kebersihan. Di tingkat rumah tangga, sampah dikemas dalam tempat sampah dan ditempatkan di tempat sampah di dalam rumah sampai volume tertentu. Biasanya setelah dua atau tiga hari, sampah dipindahkan ke tempat sampah di luar rumah (tempat sampah di halaman).
Pengelolaan selanjutnya beralih dari pengelola rumah tangga ke pengurus RT/RW. Para pengurus RT ataupun RW mulai mengatur jadwal dan membayar pemungut sampah rumah tangga dari tempat sampah di halaman rumah ke tempat pembuangan sementara (TPS). Kegiatan pengambilan sampah ini dilakukan 2-3 hari sekali. Para pengelola sampah ini selanjutnya mengirim sampahnya ke TPS di tingkat RW atau desa. Pada lokasi ini berkumpul para pengumpul sampah (sebagai feeder) dari beberapa RT atau RW ke TPS. Pada tingkat berikutnya sampah dikelola PD Kebersihan yang mengangkut sampah dari TPS-TPS di seluruh penjuru kota, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Kumpul-angkut-buang
Hingga kini proses konvensional (kumpul-angkut-buang) ternyata masih dilakukan. Disadari bahwa pola ini harus diperbaiki melalui suatu tahapan yang disebut "proses" sehingga polanya berubah menjadi kumpul-angkut-proses-buang. Jika kegiatan proses ini dilakukan, pada akhirnya yang terbuang ke TPA boleh jadi akan di bawah 10 persen. Artinya, itu akan memperpanjang umur TPA dan sangat akrab lingkungan.
Pada seluruh segmen pengelolaan ini, masyarakat telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sejak di rumah tangga (membayar pembantu rumah tangga), di tingkat RT/RW (membayar iuran sampah kepada RT/RW), sampai di PD Kebersihan (dibayar melalui rekening listrik atau melalui desa), tidak kurang biaya yang dikeluarkan masyarakat sekitar Rp 15.000 per bulan per rumah tangga.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan para ahli, setiap rumah tangga menghasilkan sekitar 2,5 liter sampah per orang per hari atau sekitar 75 liter per bulan. Maka, jika ada 1.000 rumah tangga (KK) masing-masing terdiri dari empat orang, akan dihasilkan sampah sebanyak 300.000 liter. Jika selama ini biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 15.000 per KK per bulan, biaya untuk 1.000 KK sekitar Rp 15 juta per bulan, hanya untuk kumpul-angkut-buang.
Dalam kasus ini, yang menjadi masalah adalah pengangkutan dari TPS ke TPA (tanpa proses). Biaya yang terbebankan dalam kasus ini sebesar Rp 3.000-Rp 5.000 per KK. Misalnya, biaya Rp 4.000 per KK, maka jika 1.000 KK biaya per bulan diperoleh dana sekitar Rp 4 juta dengan Rp 13.500 per meter kubik sampah. Pada posisi ini Pemerintah Kota Bandung telah memberikan subsidi angkutan sekitar Rp 37.500 per meter kubik. Berdasarkan informasi, beban biaya pengelolaan sampah di Kota Bandung sekitar Rp 50.000 per meter kubik. Kurangi volumenya. Karena sampah bersifat voluminous dan bulky, dalam pengelolaannya perlu dilakukan upaya untuk mengurangi volumenya, yaitu dengan cara meringkasnya (dicacah). Hasilnya, sampah akan menyusut menjadi hanya 25 persen. Artinya, akan dihasilkan bahan baku kompos yang berasal dari sampah organik sebanyak 25 persen x 300.000 liter x 60 persen, dan anorganik 40 persen.
Jika saja bahan organik dan anorganik telah mampu dipilah, harga jual bahan-bahan anorganik pun cukup menarik. Sebagai informasi, plastik bekas Rp 200 per kilogram, botol plastik Rp 4.000 per kilogram, dan kertas karton Rp 600 per kilogram. Dengan sistem pilah akan terjadi peningkatan pendapatan pemulung, penyediaan bahan baku kompos, bahan baku biomas, bahan baku daur ulang, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.
Informasi harga dan berbagai bentuk komoditas tersebut amat berguna bagi manajemen yang akan melakukan pengelolaan sampah. Konsep yang harus dilakukan oleh para pengelola sampah adalah dengan cara terpadu. Ciri sistem ini antara lain adanya introduksi alat pemilah dalam bentuk conveyor, mesin pencacah dan pembersih plastik. Keseluruhan alat tersebut dapat disusutkan dengan harga yang tidak lebih dari Rp 5.000 per meter kubik. Artinya, dalam mengoperasikannya para pengelola tidak perlu membeli alat tersebut, tetapi cukup dengan menyewa.
Jika saja hitung-hitungan ini dapat diapresiasi pemerintah kota dan pengelolaannya diserahkan kepada kelompok masyarakat di tingkat TPS, beban biaya persampahan yang dikeluarkan selama ini, sekitar Rp 50.000 per meter kubik sampah, akan mampu memberikan dampak bahwa pemerintah kota telah melakukan pemberdayaan terhadap masyarakatnya sendiri untuk membersihkan kotanya.
Pola ini akan menciptakan lapangan kerja berupa kluster-kluster pengelolaan sampah kota (di tingkat TPS). Selain itu, subsidi pemerintah terhadap angkutan sampah dari TPS ke TPA bisa dihemat. Beban biaya TPA dikurangi, bahkan memungkinkan menjadi tidak ada (selama ini TPA menjadi masalah).
Dampak lanjutannya adalah umur TPA akan lebih panjang. Melalui inovasi teknologi pemrosesan dan pemilahan, kesejahteraan pemulung akan meningkat. Yang patut menjadi perhatian pula adalah bahwa nantinya usaha ini mampu menyediakan pupuk organik bagi penunjang program Jabar organik.
Di luar rumah tangga pengelolaannya dilakukan oleh para pengurus RT/RW. Di tingkat berikutnya pengelolaan ini diberikan kepada lembaga pemerintah. Di Kota Bandung ini dilakukan oleh PD Kebersihan. Di tingkat rumah tangga, sampah dikemas dalam tempat sampah dan ditempatkan di tempat sampah di dalam rumah sampai volume tertentu. Biasanya setelah dua atau tiga hari, sampah dipindahkan ke tempat sampah di luar rumah (tempat sampah di halaman).
Pengelolaan selanjutnya beralih dari pengelola rumah tangga ke pengurus RT/RW. Para pengurus RT ataupun RW mulai mengatur jadwal dan membayar pemungut sampah rumah tangga dari tempat sampah di halaman rumah ke tempat pembuangan sementara (TPS). Kegiatan pengambilan sampah ini dilakukan 2-3 hari sekali. Para pengelola sampah ini selanjutnya mengirim sampahnya ke TPS di tingkat RW atau desa. Pada lokasi ini berkumpul para pengumpul sampah (sebagai feeder) dari beberapa RT atau RW ke TPS. Pada tingkat berikutnya sampah dikelola PD Kebersihan yang mengangkut sampah dari TPS-TPS di seluruh penjuru kota, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Kumpul-angkut-buang
Hingga kini proses konvensional (kumpul-angkut-buang) ternyata masih dilakukan. Disadari bahwa pola ini harus diperbaiki melalui suatu tahapan yang disebut "proses" sehingga polanya berubah menjadi kumpul-angkut-proses-buang. Jika kegiatan proses ini dilakukan, pada akhirnya yang terbuang ke TPA boleh jadi akan di bawah 10 persen. Artinya, itu akan memperpanjang umur TPA dan sangat akrab lingkungan.
Pada seluruh segmen pengelolaan ini, masyarakat telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sejak di rumah tangga (membayar pembantu rumah tangga), di tingkat RT/RW (membayar iuran sampah kepada RT/RW), sampai di PD Kebersihan (dibayar melalui rekening listrik atau melalui desa), tidak kurang biaya yang dikeluarkan masyarakat sekitar Rp 15.000 per bulan per rumah tangga.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan para ahli, setiap rumah tangga menghasilkan sekitar 2,5 liter sampah per orang per hari atau sekitar 75 liter per bulan. Maka, jika ada 1.000 rumah tangga (KK) masing-masing terdiri dari empat orang, akan dihasilkan sampah sebanyak 300.000 liter. Jika selama ini biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 15.000 per KK per bulan, biaya untuk 1.000 KK sekitar Rp 15 juta per bulan, hanya untuk kumpul-angkut-buang.
Dalam kasus ini, yang menjadi masalah adalah pengangkutan dari TPS ke TPA (tanpa proses). Biaya yang terbebankan dalam kasus ini sebesar Rp 3.000-Rp 5.000 per KK. Misalnya, biaya Rp 4.000 per KK, maka jika 1.000 KK biaya per bulan diperoleh dana sekitar Rp 4 juta dengan Rp 13.500 per meter kubik sampah. Pada posisi ini Pemerintah Kota Bandung telah memberikan subsidi angkutan sekitar Rp 37.500 per meter kubik. Berdasarkan informasi, beban biaya pengelolaan sampah di Kota Bandung sekitar Rp 50.000 per meter kubik. Kurangi volumenya. Karena sampah bersifat voluminous dan bulky, dalam pengelolaannya perlu dilakukan upaya untuk mengurangi volumenya, yaitu dengan cara meringkasnya (dicacah). Hasilnya, sampah akan menyusut menjadi hanya 25 persen. Artinya, akan dihasilkan bahan baku kompos yang berasal dari sampah organik sebanyak 25 persen x 300.000 liter x 60 persen, dan anorganik 40 persen.
Jika saja bahan organik dan anorganik telah mampu dipilah, harga jual bahan-bahan anorganik pun cukup menarik. Sebagai informasi, plastik bekas Rp 200 per kilogram, botol plastik Rp 4.000 per kilogram, dan kertas karton Rp 600 per kilogram. Dengan sistem pilah akan terjadi peningkatan pendapatan pemulung, penyediaan bahan baku kompos, bahan baku biomas, bahan baku daur ulang, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.
Informasi harga dan berbagai bentuk komoditas tersebut amat berguna bagi manajemen yang akan melakukan pengelolaan sampah. Konsep yang harus dilakukan oleh para pengelola sampah adalah dengan cara terpadu. Ciri sistem ini antara lain adanya introduksi alat pemilah dalam bentuk conveyor, mesin pencacah dan pembersih plastik. Keseluruhan alat tersebut dapat disusutkan dengan harga yang tidak lebih dari Rp 5.000 per meter kubik. Artinya, dalam mengoperasikannya para pengelola tidak perlu membeli alat tersebut, tetapi cukup dengan menyewa.
Jika saja hitung-hitungan ini dapat diapresiasi pemerintah kota dan pengelolaannya diserahkan kepada kelompok masyarakat di tingkat TPS, beban biaya persampahan yang dikeluarkan selama ini, sekitar Rp 50.000 per meter kubik sampah, akan mampu memberikan dampak bahwa pemerintah kota telah melakukan pemberdayaan terhadap masyarakatnya sendiri untuk membersihkan kotanya.
Pola ini akan menciptakan lapangan kerja berupa kluster-kluster pengelolaan sampah kota (di tingkat TPS). Selain itu, subsidi pemerintah terhadap angkutan sampah dari TPS ke TPA bisa dihemat. Beban biaya TPA dikurangi, bahkan memungkinkan menjadi tidak ada (selama ini TPA menjadi masalah).
Dampak lanjutannya adalah umur TPA akan lebih panjang. Melalui inovasi teknologi pemrosesan dan pemilahan, kesejahteraan pemulung akan meningkat. Yang patut menjadi perhatian pula adalah bahwa nantinya usaha ini mampu menyediakan pupuk organik bagi penunjang program Jabar organik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar