SELAIN fenomena iklim
global, faktor-faktor seperti pembangunan rumah yang impermeable, tata
kota yang amburadul, perusakan alur sungai alamiah, dan pelanggaran
undang-undang yang mengamankan kawasan-kawasan tertentu menjadi immediate
causes banjir masif yang melanda Jakarta dan daerah lain kali ini. Karena
itu, penyuluhan konservasi sumber daya air, pencegahan banjir, dan pentingnya
hutan sebagai bagian sistem daerah aliran sungai (DAS), land reform, dan
penataan pembangunan kota dianggap sebagai jalan keluar. (Gatot Irianto, Orang
Jakarta Tenggelamkan Jakarta (Kompas, 31/01/02)
Meski demikian, musibah
banjir kali ini dapat menjadi momentum bagi suatu kerja kolektif. Pencegahan
banjir tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus melibatkan beragam
pendekatan yang tepat. Selain solusi teknis itu memerlukan landasan teologis
yang kuat, masalah banjir dan berbagai kerusakan lingkungan tidak dapat
dipecahkan melalui pendekatan teknis semata. Kerusakan ekologis sebenarnya juga
disebabkan kesalahan pendekatan teologis terhadap alam, sebab ekologi adalah
bagian dari weltanschauung religius.
Lynn White Jr pernah
mengkritik, weltanschauung agama-agama moneteistik tidak bersahabat
dengan alam. Menurut dia, penafsiran agama bahwa posisi manusia superior di
atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sakral, merupakan akar masalah
ekologi sekarang. Yang berkembang adalah etika mengeksploitasi, bukan etika
melindungi.
Graham Parkes dari
University of Hawaii berpendapat, pandangan keagamaan suatu kelompok masyarakat
amat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku mereka terhadap alam dan
lingkungannya. Ada world view yang mempengaruhi sikap kurang bersahabat
dengan alam. Pertama, latar belakang filsafat Platonik yang menganggap dunia
fisik (physical world) tidak berwujud.
Kedua, ajaran agama yang
menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang lebih rendah dari manusia,
sehingga layak dieksploitasi sekehendak manusia. (Alwi Shihab, Islam Inklusif,
1998)
Pendapat White dan Parkes
itu merupakan tantangan bagi agama-agama, sekaligus tidak berarti meremehkan
pentingnya pendekatan spiritual dan agama yang ramah ekologi. Teologi
agama-agama bisa saja sejalan dengan atau mendukung konsep seperti skenario
sehat, humanistik, dan ekologis (SHE) yang ditawarkan James Robertson dalam
bukunya The Sane Alternative: A Choice of Future (1983).
Isu lingkungan juga dapat
mempertemukan agama-agama. Teologi ekologi lintas agama yang melihat lingkungan
sebagai bagian dari sistem holistik Ketuhanan mendesak dikembangkan. Sayangnya,
di tingkat dunia, World Charter for Nature (WCN) PBB 1982 dan Earth
Summit di Rio de Janeiro 1992, belum menyentuh dimensi teologi dan
spiritual. Teologi baru dilibatkan ketika ada Deklarasi Asisis tahun 1976 dan Islamic
Principles for the Conservation of the Natural Environment (IPCNE) tahun
1983.
Di Indonesia kerja bareng
lintas agama dalam isu lingkungan belum terdengar lagi setelah Workshop
Traditional Belief and Religious Approaches to Environmental Preservation
tahun 1994 di Jakarta dan Jawa Timur.
Krisis ekologi=krisis
spiritual
Banjir kali ini menunjukkan
krisis ekologi, dan krisis ekologi pada dasarnya adalah krisis spiritual.
Bencana alam tidak bisa dialamatkan pada fenemona alam semata. Eksploitasi
eksesif, perusakan habitat, konsumsi eksesif, dan penyalahgunaan sumber-sumber
daya alam hanya dilakukan manusia yang mengalami kekeringan spiritual.
Banjir dan kerusakan alam
juga merupakan dampak individualisme dan egoisme, selain materialisme yang
membuat manusia kering dari kesadaran ekologis. Begitu pula, kepentingan sesaat
dan sempit menjadikan manusia tidak peduli dengan integritas dan kesehatan
ekosistem Bumi.
Dari sudut pandang
teologis, musibah banjir adalah azab Tuhan bagi manusia yang belum jera berbuat
kezaliman. Dampak banjir sama sekali melampaui status sosial, suku, atau agama.
Banjir adalah tanda manusia tidak bersyukur atas karunia hujan. Jika kamu
bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku dan bila kamu kufur maka sesungguhnya
siksa-Ku amat pedih (Al-Quran: Ibrahim,7).
Ini juga akibat manusia
tidak pandai mengambil pelajaran dari sejarah. Padahal, banjir masif pernah
memusnahkan kaum Nabi Nuh akibat ulah mereka sendiri. (Al Quran: VII,64).
Tuhan menciptakan alam
berikut hukum-hukum kausalnya (law of nature). Dengan hujan, Tuhan
membuat tanah yang gersang dan tandus menjadi subur, sehingga tumbuh berbagai
tanaman. Namun, Tuhan mengingatkan, bila terjadi kerusakan di muka Bumi, maka
itu akibat ulah manusia sendiri.
Telah tampak kerusakan di
darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke
jalan yang benar (Al Quran: Ar-Rum, 41).
Fritjof Capra dalam The
Turning Point: Science, Society and The Rising Culture pernah menekankan,
musibah Bumi terjadi akibat pengembangan iptek minus wawasan spiritual. Wakil
Presiden Amerika yang lalu, Al Gore, dalam Earth in the Balance: Ecology and
the Human Spirit, menyatakan, semakin dalam saya menggali akar krisis
lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini
tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita.
"Living in Harmony
with Nature"
Jawaban teologi menyangkut
lingkungan adalah harmoni hubungan manusia dan alam sekitar. Agama Buddha, Tao,
Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral.
Buddha mengatakan pepohonan
dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan
harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan langit dan bumi dinamakan orang
tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup.
Dalam Islam, manusia harus
menghargai nilai air sebagai bagian dari struktur keimanan. Dalam sejarah
Islam, praktik harim dan hima (tanah yang dilindungi, yang kosong
dari bangunan) mencerminkan sikap melindungi lingkungan dan meregulasi
penggunaan sarana publik demi kelestarian lingkungan, agar terhindar dari
penyalahgunaan dan eksploitasi berlebihan.
Islam juga menekankan,
hubungan manusia dan tanah bukan bersifat penguasaan dan dominasi, tetapi
pemanfaatan yang terkendali (guided utilisation). Pengembangan tanah (land
development) harus sesuai dengan tatanan yang lebih luas dan dalam kerangka
kepentingan publik (maslahah). Kepemilikan tanah dan tempat tinggal rakyat
juga bukan merupakan exclusive privilege yang tanpa reserve.
Dalam Islam, ada prinsip
"jangan merusak" (la darara wa la dirara), prinsip taskhir
(wewenang menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaan) dan prinsip istikhlaf
(wakil Tuhan di bumi yang bertanggung jawab, responsible trusteeship).
Ziauddin Sardar lebih jauh menggabungkan prinsip-prinsip tauhid, khilafah,
amanah, halal, dan haram, dengan keadilan, moderasi, keseimbangan, harmoni, istihsan
(preference for the better) dan istislah (public welfare).
Parvez merangkum teologi
ekologinya menjadi tauhid, khilafah, amanah, syariat, keadilan, dan
moderasi. Sementara Sayyed Hossein Nasr menekankan prinsip keseimbangan (equilibrium).
Pemikiran teologis ini bermuara pada satu pesan, living in harmony with
nature.
Hubungan manusia dan
lingkungan dilihat sebagai bagian dari hubungan interaktif antara semua ciptaan
Tuhan, yang dibentuk berdasarkan prinsip berserah diri kepada Tuhan yang sama.
Berserah diri tidak semata-mata praktik ritual, karena kebaktian bersifat
simbolik. Kesadaran manusia akan kehadiran Tuhan harus dibuktikan melalui
perbuatan nyata dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitar.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar