Luas total daratan Indonesia 1,9 juta kilometer persegi, terbagi atas 17
ribu pulau. Luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona
ekonomi eksklusif. Ibukota negara dan hampir semua ibukota provinsi berada di
wilayah pantai dan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang
pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Secara geografis, posisi Indonesia
semacam ini rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Bagi Indonesia, dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah
lama kita rasakan. Jika dulu kita diajarkan musim kemarau berlangsung
April-Oktober dan musim penghujan terjadi November-Maret, sekarang tidak lagi.
Riset jangka panjang (Irianto, 2003) menyimpulkan, sejak 1990-an musim kemarau
mengalami percepatan 4 dasarian (40 hari), dan musim hujan bisa mundur sampai 4
dasarian. Artinya, kemarau menjadi lebih lama 80 hari dan hari hujan berkurang
80 hari dari kondisi normal. Sedang penurunan curah hujan maksimum mencapai 21
milimeter selama 21 dasarian (210 hari).
Cuaca kian kacau, bahkan sulit diprediksi. Periode musim hujan dan musim
kemarau kian kacau, sehingga pola tanam, estimasi produksi pertanian, dan
persediaan pangan sulit diprediksi. Menurut Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), tiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius akan menurunkan
produksi pertanian Cina dan Banglades 30 persen pada tahun 2050. Dengan model
IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur rata-rata 0,10-0,3 derajat
celsius per dekade.
Kenaikan suhu bumi akan membawa dampak ikutan yang luar biasa, yang
tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup terbebas darinya.
Produksi pangan menurun, fluktuasi dan ditribusi ketersediaan air terganggu,
hama dan penyakit tanaman serta manusia menggila. Perubahan iklim akhirnya
mengancam keberlanjutan kehidupan.
Pertanian Indonesia sudah merasakan dampaknya. Tata ruang, daerah
resapan air, dan sistem irigasi yang buruk telah memicu banjir, termasuk di
area sawah. Sebagai gambaran, rentang 1995-2005, total padi yang terendam
banjir seluas 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya
puso. Sawah yang kekeringan seluas 2.131.579 hektare, 328.447 hektare di
antaranya gagal panen. Tahun lalu, 189.773 hektare dari 577.046 hektare padi
gagal panen karena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 4,6 ton
gabah per hektare, pada 2006 gabah yang hilang 872.955 ton. Indonesia dan negara
berkembang lain bukanlah penyumbang terbesar pemanasan global. Penyebab
pemanasan global adalah negara-negara maju. Penduduk AS, Kanada dan Eropa yang
hanya 20,1 persen dari total warga dunia mengonsumsi 59,1 persen energi dunia.
Sementara warga Afrika dan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia
hanya mengonsumsi 10,3 persen. Ketidakadilan ini hendak dikoreksi Protokol
Kyoto, tapi sayang sampai sekarang protokol ini tak efektif karena boikot AS
dan Australia.
Pertemuan Conference of the Parties (COP) 13 Desember 2007 di Bali
menjadi penting untuk merumuskan aturan baru pascaberakhirnya Protokol Kyoto
pada 2012. Di luar itu, adaptasi dan mitigasi di masing-masing negara harus
terus dilakukan. Untuk pertanian Indonesia, cara-cara bertani harus disesuaikan
dengan situasi yang berkembang. Tanpa adaptasi, perubahan iklim akan berisiko
besar. Tidak hanya produksi pangan menurun, di saat yang sama, petani akan
jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, jumlah penganggur
meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawasan
sosial dan masalah baru di kota.
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.
Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya ketahanan pangan, lalu kita menjadi tergantung pada pangan impor. Petani harus diyakinkan bahwa praktik bercocok tanam perlu diubah. Dengan varietas, cara tanam, dan sistem pengairan tertentu, petani bisa mengurangi emisi salah satu GRK, gas metana (CH4), dari sawah. Hasil penelitian pengaruh cara pengelolaan padi terhadap emisi CH4 di Jakenan, Jawa Tengah (Setyanto dan Abubakar, 2006), menunjukkan varietas IR-64, Memberamo, dan Way Apo Buru yang ditanam dengan pindah bisa menekan emisi CH4 berturut-turut 60 persen, 35 persen, dan 38 persen dibanding varietas Cisadane.
Secara ekonomi, Memberamo dan Way Apo Buru yang ditanam dengan cara
tabur benih langsung merupakan teknologi mitigasi gas metana yang terbaik
karena bisa memberi keuntungan berturut-turut 81 dolar AS dan 82 dolar AS per
hektare serta mengurangi emisi CH4 sebesar 21 persen dan 29 persen. Menjadi
tugas Departemen Pertanian, terutama penyuluh di lapangan, untuk meyakinkan
petani agar beralih dari IR64, varietas yang banyak ditanam saat ini. Memberamo
dan Way Apo Buru bukan saja efektif menekan emisi metana, tapi memiliki tingkat
produktivitas yang tinggi (7-9 ton per hektare) dan berumur genjah.
Di wilayah-wilayah yang lebih kering, cuaca lebih panas, petani perlu
mengganti jenis tanaman yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu
dipertimbangkan kembali padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu
di wilayah-wilayah yang airnya amat terbatas atau lahan kering yang
mengandalkan tadah hujan. Sistem pengairan sawah tidak lagi dilakukan dengan
penggenangan terus-menerus, tapi cukup macak-macak. Dari uji coba lapangan,
cara ini ternyata lebih hemat air dan tidak menurunkan produksi.
Terobosan lain adalah memberi informasi cuaca kepada petani selama musim
tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Informasi cuaca sudah
tersedia, bahkan kualitas prediksi cuaca terbukti lebih valid (Tempo,
6-12/8/2007). Persoalannya tinggal memperbaiki informasi cuaca dan membuatnya
komunikatif, terutama bagi petani. Sejauh ini, pemanfaatan informasi cuaca
masih didominasi sektor penerbangan dan militer. Bagaimana membuat petani tidak
hanya bisa mengakses, tapi juga membaca cuaca dengan bahasa mereka menjadi
persoalan yang perlu segera dicarikan jalan keluar. Dengan cara-cara ini petani
bisa terhindar dari kerugian sekaligus menekan emisi metana (Khudori, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar