Selamat Datang di Blog Saya - Semoga Artikel yang Saya Postingkan Bermanfaat bagi semua

Selasa, 11 Juni 2013

Artikel Kerusakan Hutan Muria di Desa Rahtawu Kabupaten Kudus


Kerusakan Hutan Muria di Desa Rahtawu Kabupaten Kudus

Banyak aktivitas kegiatan lingkungan dilakukan oleh instansi pemerintah, organisasi non pemerintah dan mahasiswa pecinta alam (MAPALA) yang dimulai dari serasehan, diskusi, seminar, lokakarya sampai pada pendidikan dan pelatihan (diklat), yang kesemuanya dilakukan untuk menggugah kesadaran dan mengajak manusia dewasa agar dapat mengembangkan rasa peduli dan memiliki sikap kritis terhadap permasalahan lingkungan ataupun pada pengelolaan sumber daya alam, akan tetapi proses pembelajaran pada manusia dewasa seringkali mengalami hambatan untuk implementasinya manakala berhadapan dengan rutinitas kerja dan birokrasi pekerjaan ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan di sektor lingkungan hidup yang “lemah” implementasinya.
Permasalahan lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan tehnologi, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya tehnologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas, yang dibutuhkan bukan hanya otak melainkan juga hati (Keraf, 2002).
Pendidikan lingkungan sejak usia muda menjadi sangat penting. Proses–proses pengenalan keanekaragaman hayati dan kemanfaatan hutan, satwa, tumbuhan dan ekosistem yang ada di lingkungan sekitar rumah tempat tinggal merupakan “media nyata” yang bisa digarap dan diberikan untuk para generasi muda usia prasekolah dan sekolah di komunitas keluarga, pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Belum adanya mata pelajaran khusus tentang pendidikan lingkungan hidup di pendidikan formal, telah memberikan andil kurang pekanya kesadaran generasi muda kita untuk peduli pada pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya. Padahal pengetahuan yang didapat dari pendidikan formal (sekolah) sangatlah berpengaruh pada proses pembelajaran anak didik dalam berperilaku keseharian sehingga keadaan yang tidak kondusif ini semakin pasif dan melemahkan daya upaya pelestarian lingkungan hidup di kalangan para generasi muda (baca: remaja).
Bisa dikatakan seorang remaja itu sudah dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar dan hal apa yang baik dilakukan dan yang tidak dilakukan. Remaja juga harusnya dapat membuat perubahan bagi lingkungannya paling tidak lingkungan di dekat tempat tinggalnya. Bagaimana sikap mereka mengenai kerusakan yang terjadi di lingkungan mereka dalam hal ini Hutan Muria yang berada di kawasan Kabupaten Kudus.
Jika melihat kota Kudus sejenak. Kabupaten Kudus yang merupakan satu dari 35 kabupaten di Jawa Tengah. Merupakan sebuah kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah. Kota Kudus, berada 51 km sebelah timur kota Semarang. Kabupaten Kudus berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara di barat.
Luas wilayah Kab. Kudus 42.516 ha, yang terdiri dari 51,04 % (21,704 ha) lahan sawah dan 48,96 % (20,812 ha) bukan sawah. Terbagi menjadi 9 kecamatan yang terdiri atas 124 desa dan 7 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah kecamatan Kaliwungu, Kota, Jati, Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog dan Dawe. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah.
Sebagian wilayah utara terdapat pegunungan (Pegunungan Muria), dengan puncaknya 29 (1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter) dan Gunung Argojembangan (1.410 meter). Kawasan Pegunungan Muria dengan pucak 29 (baca: songolikur) di ketinggian 1602 M dpl secara administratif terletak di Jawa Tengah, tepatnya di tiga kabupaten yaitu: Kudus, Jepara, dan Pati. Luas hutan keseluruhan Gunung Muria mencapai 69.812,08 ha, terdiri dari wilayah Kabupaten Jepara 20.096, 51 ha, kemudian 47.338 ha masuk wilayah Kabupaten Pati dan 2.377,57 ha berada dalam wilayah Kabupaten Kudus. Di kabupaten Kudus, Desa Ternadi, Desa Kajar, Desa Colo, Desa Japan, Desa Rahtawu dan Desa Soco merupakan desa-desa yang berhubungan langsung dengan kawasan pegunungan Muria (Widjanarko, 2008).
Sebanyak 50 persen hutan lindung di Gunung Muria, saat ini mengalami kerusakan, prediksi awal dikarenakan akibat pencurian dan perambahan hutan yang terjadi antara tahun 1998 sampai 2001 (Saleh, 2003). Akibatnya luas hutan produktif yang semula mencapai 70 persen dari seluruh luas hutan pada akhir tahun 2002 hanya tinggal 25 persen atau sekitar 9.500 hektare. Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2003  menyebutkan 38.308 ha terindikasi hutan yang mengalami kerusakan, detailnya meliputi: 13.252 ha hutan yang berada dalam kabupaten Jepara, 23.807 ha berada di kawasan Pati dan 1.249 ha berada di kabupaten kudus (Suara Merdeka, 21 September 2004).
Sedangkan desa Rahtawu, terletak di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa tengah. Luas Desa Rahtawu mencapai 1.610,75 ha, terletak 20 Km sebelah utara dari pusat Kota Kudus. Susahnya akses transportasi umum dari dan menuju ke Desa Rahtawu, serta keterbatasan ekonomi penduduk setempat, menjadikan para remajanya terpaksa putus sekolah. Umumya para remaja di sana menyelesaikan tingkat pendidikannya pada jenjang sekolah dasar saja. Hanya sedikit dari mereka yang mampu meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Kondisi demikian menuntut para remaja putus sekolah untuk dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk membantu kehidupan keluarganya. Kegiatan merambah hutan, penambangan pasir dan batu kali adalah kegiatan yang jamak dilakukan. Kegiatan tersebut tak jarang menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor di musim penghujan.
Sementara itu, keberadaan Desa Rahtawu sangat vital bagi eksistensi Kabupaten Kudus. Mengingat di desa tersebut, terdapat sumber mata air Bunton yang menyuplai kebutuhan air bagi Kota Kudus dan sekitarnya. Kerusakan hutan di wilayah ini tentu saja berdampak pada kelangsungan hidup Kota Kudus dan sekitarnya.
Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam (SDA) dapat menghancurkan ekosistem bumi. Oleh Marshall McLuhan, konsep tadi dikembangkan menjadi sebuah pengertian mengenai global village, di mana ditunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu tinggal pada suatu tempat yang memiliki tingkat saling tergantung.
Mampukah planet bumi ke depan menampung dan menyediakan seluruh kebutuhan penduduk dunia yang terus membengkak dan diprediksikan 7,5 miliar jiwa tahun 2020? Kita selama ini menganggap bumi memiliki daya tampung (carrying capacity) tak terbatas untuk memenuhi segala aktivitas dan kebutuhan umat manusia. Kita nyaris tak berpikir, betapa sesungguhnya bumi ini amat rentan dan mudah ’’sakit’’ bila diperlakukan semena-mena.
Disadari bersama bahwa isu aktual akhir-akhir yang mengungkapkan bumi yang kian panas sungguh amat memprihatinkan masa depan bumi. Naiknya suhu bumi (global warning/GB) makin menjadi fokus perhatian dunia. Isu GB ini sudah merebak di mana-mana. Seluruh penghuni bumi telah merasakan dampak negatifnya. Bahkan kejadian-kejadian buruk ke depan akibat GB sudah bisa diprediksi dari sekarang.
Secara makro, dampak negatif akibat pemanasan global akan menimbulkan perubahan iklim dan cuaca di bumi, peningkatan air laut, terganggunya pertanian dan persediaan pangan, keseimbangan ekosistem dan kesehatan manusia.
Intergovernmental Panel and Climate Change (IPPC) yang menangani pemanasan global di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencemaskan bahwa kenaikan suhu atmosfir bumi antara  0,5 – 2,0 derajat Celcius tiap satu dekade bisa menaikkan permukaan air laut sampai setinggi satu meter.
Persoalan GB ini, yang mulai diangkat ke permukaan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992 atau yang disebut sebagai Earth Summit yang dilakukan oleh United Nations Conference on Environment and Development, kini terus menjadi perhatian utama dunia. Sayangnya di antara negara-negara yang punya perhatian besar pada GB sampai saat ini belum melakukan aksi bersama.
Di antara kontributor GB terbesar adalah karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana, dan chlorofluorocarbon (CFC). Menurut Michael Allaby dalam bukunya Living in The Green House, molekul CFC ini dapat bertahan di atmosfir selama beberapa dekade, sedangkan satu molekul karbon dioksida bisa bertahan sampai 100 tahun, satu molekul nitrous oksida selama 170 tahun, dan satu molekul metana selama 10 tahun.
Dalam jangka panjang, justru gas CFC inilah yang sangat membahayakan. Penyebab utama lapisan Ozon berlubang sesungguhnya bukan disebabkan oleh efek dari pemanasan global, tapi lebih disebabkan pemakaian CPC atau Freon yang biasanya terdapat di dalam kulkas, AC dan lain-lain. Ozon ini menyerap radiasi dari ultraviolet dan mencegahnya masuk ke permukaan bumi.
Dalam rangka ikut memelihara kelestarian bumi kita, jelas harus diawali dengan perubahan paradigma pemikiran yang cerdas. Di sisi lain, harus ada komitmen yang kuat dan political will bagaimana mengembalikan ekosistem dunia itu menjadi lebih harmonis dan humanis, khususnya di pengunungan muria.
Pada dasarnya, yang penting dilaksanakan adalah bagaimana menjaga keberlanjutan ekosistensi Muria pada masa mendatang secara bersama. Pasalnya, kerusakan Muria bagaimana pun erat korelasinya dengan persoalan manusia itu sendiri.
Planet bumi yang merupakan hakikat berbagai ragam kehidupan sedang mendapat ancaman kehancuran serius dan harus diselamatkan. Masalah besar bersifat global yang dihadapi umat manusia adalah krisis ekologi dan krisis moral.
Krisis ekologi ini berakar dari sikap yang kurang memperhatikan norma-norma moral dalam hubungannya dengan lingkungan hidup secara luas. Implikasinya, kita masih harus lebih giat lagi untuk menjaga keberlanjutan eksistensi bumi bagi kepentingan generasi yang akan datang.
Persoalan degradasi lingkungan akibat pencemaran, pemanasan global, penipisan lapisan ozon dan lain-lain telah menjadi isu global yang menjadi perhatian masyarakat luas. Berbagai fenomena alam akhir-akhir ini seperti bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, dan krisis air telah menyadarkan kita untuk perlu melihat kembali hubungan kita dengan lingkungan yang telah berjalan selama ini.
Kita mewarisi bumi dari leluhur kita dan mewariskannya kepada anak cucu kita. Dengan demikian, sebagai pembela konservasi tentu wajib mewariskan sesuatu yang lebih baik dari pada yang kita terima saat ini. Di sisi lain, ketika kita hendak membangun, menjaga, dan melestarikan lingkungan hidup di bumi, maka clean and good governance harus menjadi sebuah keharusan dan pilihan yang tak bisa ditawar.
Kerusakan hutan di Gunung Muria adalah sebuah fakta. Tetapi apakah fakta ini diketahui oleh penduduk indonesia bahkan remaja yang hidup di sekitar wilayah Muria atau tidak? Sikap remaja sejak dini mengetahui kerusakan Muria dan memunculkan sikap untuk melakukan konservasi lingkungan merupakan sikap yang perlu di dukung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leobardus Ari Nugroho