Banyak
aktivitas kegiatan lingkungan dilakukan oleh instansi pemerintah, organisasi
non pemerintah dan mahasiswa pecinta alam (MAPALA) yang dimulai dari serasehan,
diskusi, seminar, lokakarya sampai pada pendidikan dan pelatihan (diklat), yang
kesemuanya dilakukan untuk menggugah kesadaran dan mengajak manusia dewasa agar
dapat mengembangkan rasa peduli dan memiliki sikap kritis terhadap permasalahan
lingkungan ataupun pada pengelolaan sumber daya alam, akan tetapi proses
pembelajaran pada manusia dewasa seringkali mengalami hambatan untuk
implementasinya manakala berhadapan dengan rutinitas kerja dan birokrasi
pekerjaan ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan di sektor lingkungan hidup
yang “lemah” implementasinya.
Permasalahan
lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan
tehnologi, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya
tehnologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas, yang dibutuhkan
bukan hanya otak melainkan juga hati (Keraf, 2002).
Pendidikan
lingkungan sejak usia muda menjadi sangat penting. Proses–proses pengenalan
keanekaragaman hayati dan kemanfaatan hutan, satwa, tumbuhan dan ekosistem yang
ada di lingkungan sekitar rumah tempat tinggal merupakan “media nyata” yang
bisa digarap dan diberikan untuk para generasi muda usia prasekolah dan sekolah
di komunitas keluarga, pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Belum
adanya mata pelajaran khusus tentang pendidikan lingkungan hidup di pendidikan
formal, telah memberikan andil kurang pekanya kesadaran generasi muda kita
untuk peduli pada pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya.
Padahal pengetahuan yang didapat dari pendidikan formal (sekolah) sangatlah
berpengaruh pada proses pembelajaran anak didik dalam berperilaku keseharian
sehingga keadaan yang tidak kondusif ini semakin pasif dan melemahkan daya
upaya pelestarian lingkungan hidup di kalangan para generasi muda (baca:
remaja).
Bisa
dikatakan seorang remaja itu sudah dapat membedakan mana yang salah dan mana
yang benar dan hal apa yang baik dilakukan dan yang tidak dilakukan. Remaja
juga harusnya dapat membuat perubahan bagi lingkungannya paling tidak
lingkungan di dekat tempat tinggalnya. Bagaimana sikap mereka mengenai
kerusakan yang terjadi di lingkungan mereka dalam hal ini Hutan Muria yang
berada di kawasan Kabupaten Kudus.
Jika
melihat kota Kudus sejenak. Kabupaten Kudus yang merupakan satu dari 35
kabupaten di Jawa Tengah. Merupakan sebuah kota yang ada di Propinsi Jawa
Tengah. Kota Kudus, berada 51 km sebelah timur kota Semarang. Kabupaten Kudus
berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan di selatan, serta
Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara di barat.
Luas
wilayah Kab. Kudus 42.516 ha, yang terdiri dari 51,04 % (21,704 ha) lahan sawah
dan 48,96 % (20,812 ha) bukan sawah. Terbagi menjadi 9 kecamatan yang terdiri
atas 124 desa dan 7 kelurahan. Kecamatan tersebut adalah kecamatan Kaliwungu,
Kota, Jati, Undaan, Mejobo, Jekulo, Bae, Gebog dan Dawe. Sebagian besar wilayah
Kabupaten Kudus adalah dataran rendah.
Sebagian
wilayah utara terdapat pegunungan (Pegunungan Muria), dengan puncaknya 29
(1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter) dan Gunung Argojembangan (1.410
meter). Kawasan Pegunungan Muria dengan pucak 29 (baca: songolikur) di
ketinggian 1602 M dpl secara administratif terletak di Jawa Tengah, tepatnya di
tiga kabupaten yaitu: Kudus, Jepara, dan Pati. Luas hutan keseluruhan Gunung
Muria mencapai 69.812,08 ha, terdiri dari wilayah Kabupaten Jepara 20.096, 51
ha, kemudian 47.338 ha masuk wilayah Kabupaten Pati dan 2.377,57 ha berada
dalam wilayah Kabupaten Kudus. Di kabupaten Kudus, Desa Ternadi, Desa Kajar,
Desa Colo, Desa Japan, Desa Rahtawu dan Desa Soco merupakan desa-desa yang
berhubungan langsung dengan kawasan pegunungan Muria (Widjanarko, 2008).
Sebanyak
50 persen hutan lindung di Gunung Muria, saat ini mengalami kerusakan, prediksi
awal dikarenakan akibat pencurian dan perambahan hutan yang terjadi antara
tahun 1998 sampai 2001 (Saleh, 2003). Akibatnya luas hutan produktif yang
semula mencapai 70 persen dari seluruh luas hutan pada akhir tahun 2002 hanya
tinggal 25 persen atau sekitar 9.500 hektare. Data Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2003 menyebutkan 38.308 ha
terindikasi hutan yang mengalami kerusakan, detailnya meliputi: 13.252 ha hutan
yang berada dalam kabupaten Jepara, 23.807 ha berada di kawasan Pati dan 1.249
ha berada di kabupaten kudus (Suara Merdeka, 21 September 2004).
Sedangkan
desa Rahtawu, terletak di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
tengah. Luas Desa Rahtawu mencapai 1.610,75 ha, terletak 20 Km sebelah utara
dari pusat Kota Kudus. Susahnya akses transportasi umum dari dan menuju ke Desa
Rahtawu, serta keterbatasan ekonomi penduduk setempat, menjadikan para
remajanya terpaksa putus sekolah. Umumya para remaja di sana menyelesaikan
tingkat pendidikannya pada jenjang sekolah dasar saja. Hanya sedikit dari
mereka yang mampu meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Kondisi
demikian menuntut para remaja putus sekolah untuk dapat melakukan kegiatan
ekonomi untuk membantu kehidupan keluarganya. Kegiatan merambah hutan,
penambangan pasir dan batu kali adalah kegiatan yang jamak dilakukan. Kegiatan
tersebut tak jarang menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor di musim
penghujan.
Sementara
itu, keberadaan Desa Rahtawu sangat vital bagi eksistensi Kabupaten Kudus.
Mengingat di desa tersebut, terdapat sumber mata air Bunton yang menyuplai
kebutuhan air bagi Kota Kudus dan sekitarnya. Kerusakan hutan di wilayah ini
tentu saja berdampak pada kelangsungan hidup Kota Kudus dan sekitarnya.
Eksploitasi
yang berlebihan terhadap sumber daya alam (SDA) dapat menghancurkan ekosistem
bumi. Oleh Marshall McLuhan, konsep tadi dikembangkan menjadi sebuah pengertian
mengenai global village, di mana ditunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu
tinggal pada suatu tempat yang memiliki tingkat saling tergantung.
Mampukah
planet bumi ke depan menampung dan menyediakan seluruh kebutuhan penduduk dunia
yang terus membengkak dan diprediksikan 7,5 miliar jiwa tahun 2020? Kita selama
ini menganggap bumi memiliki daya tampung (carrying capacity) tak terbatas
untuk memenuhi segala aktivitas dan kebutuhan umat manusia. Kita nyaris tak
berpikir, betapa sesungguhnya bumi ini amat rentan dan mudah ’’sakit’’ bila
diperlakukan semena-mena.
Disadari
bersama bahwa isu aktual akhir-akhir yang mengungkapkan bumi yang kian panas
sungguh amat memprihatinkan masa depan bumi. Naiknya suhu bumi (global
warning/GB) makin menjadi fokus perhatian dunia. Isu GB ini sudah merebak di
mana-mana. Seluruh penghuni bumi telah merasakan dampak negatifnya. Bahkan
kejadian-kejadian buruk ke depan akibat GB sudah bisa diprediksi dari sekarang.
Secara
makro, dampak negatif akibat pemanasan global akan menimbulkan perubahan iklim
dan cuaca di bumi, peningkatan air laut, terganggunya pertanian dan persediaan
pangan, keseimbangan ekosistem dan kesehatan manusia.
Intergovernmental
Panel and Climate Change (IPPC) yang menangani pemanasan global di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mencemaskan bahwa kenaikan suhu atmosfir bumi antara
0,5 – 2,0 derajat Celcius tiap satu dekade bisa menaikkan permukaan air
laut sampai setinggi satu meter.
Persoalan
GB ini, yang mulai diangkat ke permukaan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992 atau yang disebut sebagai Earth Summit
yang dilakukan oleh United Nations Conference on Environment and Development,
kini terus menjadi perhatian utama dunia. Sayangnya di antara negara-negara
yang punya perhatian besar pada GB sampai saat ini belum melakukan aksi
bersama.
Di
antara kontributor GB terbesar adalah karbon dioksida, nitrogen dioksida,
metana, dan chlorofluorocarbon (CFC). Menurut Michael Allaby dalam bukunya
Living in The Green House, molekul CFC ini dapat bertahan di atmosfir selama
beberapa dekade, sedangkan satu molekul karbon dioksida bisa bertahan sampai
100 tahun, satu molekul nitrous oksida selama 170 tahun, dan satu molekul
metana selama 10 tahun.
Dalam
jangka panjang, justru gas CFC inilah yang sangat membahayakan. Penyebab utama
lapisan Ozon berlubang sesungguhnya bukan disebabkan oleh efek dari pemanasan
global, tapi lebih disebabkan pemakaian CPC atau Freon yang biasanya terdapat
di dalam kulkas, AC dan lain-lain. Ozon ini menyerap radiasi dari ultraviolet
dan mencegahnya masuk ke permukaan bumi.
Dalam
rangka ikut memelihara kelestarian bumi kita, jelas harus diawali dengan
perubahan paradigma pemikiran yang cerdas. Di sisi lain, harus ada komitmen
yang kuat dan political will bagaimana mengembalikan ekosistem dunia itu
menjadi lebih harmonis dan humanis, khususnya di pengunungan muria.
Pada
dasarnya, yang penting dilaksanakan adalah bagaimana menjaga keberlanjutan
ekosistensi Muria pada masa mendatang secara bersama. Pasalnya, kerusakan Muria
bagaimana pun erat korelasinya dengan persoalan manusia itu sendiri.
Planet
bumi yang merupakan hakikat berbagai ragam kehidupan sedang mendapat ancaman
kehancuran serius dan harus diselamatkan. Masalah besar bersifat global yang
dihadapi umat manusia adalah krisis ekologi dan krisis moral.
Krisis
ekologi ini berakar dari sikap yang kurang memperhatikan norma-norma moral
dalam hubungannya dengan lingkungan hidup secara luas. Implikasinya, kita masih
harus lebih giat lagi untuk menjaga keberlanjutan eksistensi bumi bagi
kepentingan generasi yang akan datang.
Persoalan
degradasi lingkungan akibat pencemaran, pemanasan global, penipisan lapisan
ozon dan lain-lain telah menjadi isu global yang menjadi perhatian masyarakat
luas. Berbagai fenomena alam akhir-akhir ini seperti bencana banjir,
kekeringan, tanah longsor, dan krisis air telah menyadarkan kita untuk perlu
melihat kembali hubungan kita dengan lingkungan yang telah berjalan selama ini.
Kita
mewarisi bumi dari leluhur kita dan mewariskannya kepada anak cucu kita. Dengan
demikian, sebagai pembela konservasi tentu wajib mewariskan sesuatu yang lebih
baik dari pada yang kita terima saat ini. Di sisi lain, ketika kita hendak
membangun, menjaga, dan melestarikan lingkungan hidup di bumi, maka clean and good governance harus
menjadi sebuah keharusan dan pilihan yang tak bisa ditawar.
Kerusakan
hutan di Gunung Muria adalah sebuah fakta. Tetapi apakah fakta ini diketahui
oleh penduduk indonesia bahkan remaja yang hidup di sekitar wilayah Muria atau
tidak? Sikap remaja sejak dini mengetahui kerusakan Muria dan memunculkan sikap
untuk melakukan konservasi lingkungan merupakan sikap yang perlu di dukung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar